http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=1521
Asy-Syaikh Muhammad bin Sholeh Al-'Utsaimin rohimahulloh
Pertanyaan:
Apa hukum menonton sepak bola yang ditayangkan di televisi?
Beliau menjawab:
Saya memandang bahwa menyaksikan permainan-permainan yang ditayangkan di televisi atau yang lainnya dari berbagai tayangan adalah menyia-nyiakan waktu.
Dan sesungguhnya seorang manusia yang berakal,dia tidak akan menyia-nyiakan waktunya dengan perkara-perkara seperti ini yang tidak mendatangkan faedah sama sekali. Ini jika dia selamat dari kerusakan lainnya. Dan jika terdapat bersamanya kerusakan yang lain,yang akan menumbuhkan dalam hati penontonnya yang bersenang-senang tersebut perasaan bangga kepada pemain yang kafir,maka ini tidak meragukan lagi adalah perbuatan haram,sebab kita tidak boleh sama sekali memuliakan orang kafir,apapun yang dia dapatkan dari kemajuan,sesungguhnya tidak boleh sama sekali kita memuliakan mereka.Ataukah pada pertandingan-pertandingan tersebut telah Nampak padanya paha-paha para pemuda yang dapat menimbulkan fitnah,bahkan menurut pendapat yang mengatakan bahwa paha bukan termasuk aurat,maka saya tidak mengatakan bahwa para pemuda boleh menampakkan pahanya sama sekali,Adapun kalau kita menyatakan bahwa paha termasuk aurat,sebagaimana yang masyhur dari madzhab Imam Ahmad,maka perkaranya lebih jelas lagi bahwa hal tersebut tidak boleh.
Yang jelas,yang aku nasehatkan kepada saudara-saudaraku agar mereka semangat untuk menjaga waktu-waktunya,karena sesungguhnya waktu itu lebih mahal dari harta.apakah kalian tidak membaca firman Allah Ta’ala:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
“sehingga apabila telah datang kematian ke salah seorang dari mereka,maka ia berkata: kembalikanlah aku.Semoga aku bisa kembali beramal shalih terhadap apa yang telah aku tinggalkan”.
Dia tidak mengatakan: kembalikan aku agar aku dapat bersenang-senang dengan dunia,namun dia mengatakan “semoga aku dapat beramal saleh terhadap apa yang aku tinggalkan,untuk menggantikan waktu yang telah ia lewati sebelum mati.
(transkrip dari kaset yang berisi fatwa beliau tersebut)
حكم مشاهدة كرة القدم
السؤال: ما حكم رؤية مباراة كرة القدم التي تعرض في التلفاز؟
الجواب: الذي أرى أن مشاهدة الألعاب التي تعرض في التلفاز أو في غيره من المشاهدات أنها مضيعة للوقت وأن الإنسان العاقل الحاذق لا يضيع وقته بمثل هذه الأمور التي لا تعود إليه بفائدة إطلاقا,هذا إن سلمت من شر آخر ,فإن اقترن بها شر آخر بحيث يقوم في قلب متفرج تعظيم اللاعب الكافر مثلا فإن هذا حرام بلا شك,لأنه لا يجوز لنا أن نعظم الكفار أبدا مهما حصل له من التقدم فإنه لا يجوز لنا أن نعظمهم ,أو كانت هذه المبارات قد ظهرت فيها أفخاذ شباب يحصل بها الفتنة.فإن الراجح عندي أنه لا يجوز لشباب حين لعب الكرة أن يخرجوا أفخاذه لما في ذلك من الفتنة حتى على القول بأن الفخذ ليس بعورة فلا أرى أن الشباب يخرج فخذه أبدا .أما إذا قلنا بأن الفخذ عورة كما هو المشهور من مذهب الإمام أحمد فالأمر فيها واضح أنه لا يجوز على كل حال.فالذي أنصح به إخواننا أن يحرصوا على أوقاتهم فإن الأوقات أغلى من الأموال,ألم تقرؤوا قول الله تعالى:
(حَتَّى إِذَا جَاء أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ )
لم يقل: ارجعون لأتمتع بالدنيا ولكن يقول: لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ بدلا من الوقت الضائع الذي أمضاه قبل أن يموت,
(قتوى ابن عثيمين)
http://ibnulqoyyim.com/index.php?option=com_content&task=view&id=33&Itemid=2
Selasa, 26 Januari 2010
Hukum musik
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah
bin Baz ditanya:
Apa hukum menyanyi,
apakah haram atau
diperbolehkan, walaupun
saya mendengarnya hanya
sebatas hiburan saja ? Apa
hukum memainkan alat
muzik rebab dan lagu-lagu
klasik ? Apakah menabuh
genderang saat perkawinan
diharamkan, sedangkan saya
pernah mendengar bahwa
hal itu dibolehkan ? Semoga
Allah memberimu pahala dan
mengampuni segala dosamu.
Jawaban.
Sesungguhnya mendengarkan
nyanyian atau lagu hukumnya
haram dan merupakan perbuatan
mungkar yang dapat
menimbulkan penyakit,
kekerasan hati dan dapat
membuat kita lalai dari
mengingat Allah serta lalai
melaksanakan shalat.
Kebanyakan ulama menafsirkan
kata lahwal hadits (ucapan yang
tidak berguna) dalam firman
Allah dengan nyanyian atau lagu:
"Artinya : Dan diantara
manusia (ada) orang yang
mempergunakan ucapan
yang tidak berguna".
[Luqman : 6]
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu
'anhu bersumpah bahwa yang
dimaksud dengan kata lahwul
hadits adalah nyanyian atau
lagu. Jika lagu tersebut diiringi
oleh muzik rebab, kecapi, biola,
serta gendang, maka kadar
keharamannya semakin
bertambah. Sebagian ulama
bersepakat bahwa nyanyian
yang diiringi oleh alat muzik
hukumnya adalah haram, maka
wajib untuk dijauhi.
Dalam sebuah hadits shahih dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam beliau berpendapat.
"Artinya : Sesungguhnya
akan ada segolongan orang
dari kaumku yang
menghalalkan zina, kain
sutera, khamr, dan alat
muzik".[1]
Yang dimaksud dengan al-hira
pada hadits di atas adalah
perbuatan zina, sedangkan yang
dimaksud al-ma'azif adalah
segala macam jenis alat
muzik. Saya menasihati anda
semua untuk mendengarkan
lantunan al-Qur'an yang di
dalamnya terdapat seruan untuk
berjalan di jalan yang lurus
karena hal itu sangat bermanfaat.
Berapa banyak orang yang telah
dibuat lalai karena mendengar
nyanyian dan alat muzik.
Adapun pernikahan, maka
disyariatkan di dalamnya untuk
membunyikan alat muzik rebana
disertai nyanyian yang biasa
dinyanyikan untuk
mengumumkan suatu
pernikahan, yang didalamnya
tidak ada seruan maupun pujian
untuk sesuatu yang diharamkan,
yang dikumandangkan pada
malam hari khusus bagi kaum
wanita sebagai pengumuman
pernikahan mereka agar dapat
dibezakan dengan perbuatan
zina, sebagaimana yang
dibenarkan dalam hadits shahih
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam
Sedangkan genderang dilarang
membunyikannya dalam sebuah
pernikahan, cukup hanya dengan
memukul rebana saja. Juga dalam
mengumumkan pernikahan
maupun melantunkan lagu yang
biasa dinyanyikan untuk
mengumumkan pernikahan tidak
boleh menggunakan pengeras
suara, karena hal itu dapat
menimbulkan fitnah yang besar,
akibat-akibat yang buruk, serta
dapat merugikan kaum muslimin.
Selain itu, acara nyanyian
tersebut tidak boleh berlama-
lama, cukup sekedar dapat
menyampaikan pengumuman
nikah saja, karena dengan
berlama-lama dalam nyanyian
tersebut dapat melewatkan
waktu fajar dan mengurangi
waktu tidur. Menggunakan
waktu secara berlebihan untuk
nyanyian (dalam pengumuman
nikah tersebut) merupakan
sesuatu yang dilarang dan
merupakan perbuatan orang-
orang munafik.
[Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, Mjalah Ad-
Dakwah, edisi 902, Syawal
1403H]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-
Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-
Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Penyusun Khalid
Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-
Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Al-Bukhari tentang minuman
dalam bab ma ja'a fi man
yastahillu al-khamr wa yusmmihi
bi ghairai ismih
Tambahan
Ada beberapa nyanyian yang
diperbolehkan, yaitu:
1. Menyanyi pada hari raya.
--------------------------->>>
Hal itu berdasarkan hadits
A'isyah,"Suatu ketika Rasul
Shallallahu ‘alaihi wasallam
masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di
sisinya ada dua orang hamba
sahaya wanita yang masing-
masing memukul rebana (dalam
riwayat lain ia berkata, "... dan di
sisi saya terdapat dua orang
hamba sahaya yang sedang
menyanyi."), lalu Abu Bakar
mencegah keduanya. Tetapi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam justru bersabda,
"Biarkanlah mereka karena
sesung-guhnya masing-masing
kaum memiliki hari raya,
sedangkan hari raya kita adalah
pada hari ini." (HR. al-Bukhari).
2. Menyanyi dengan rebana
ketika berlangsung pesta
pernikahan, untuk
menyemarakkan suasana
sekaligus memperluas kabar
pernikahannya.
--------------------------->>>
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Pembeda antara yang
halal dengan yang haram adalah
memukul rebana dan suara
(lagu) pada saat
pernikahan." (Hadits shahih
riwayat Ahmad). Yang dimaksud
di sini adalah khusus untuk
kaum wanita.
3. Nasyid Islami (nyanyian Islami
tanpa diiringi dengan musik)
yang disenandungkan saat
bekerja sehingga bisa lebih
membangkitkan semangat,
terutama jika di dalamnya
terdapat do'a.
--------------------------->>>
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyenandungkan
sya'ir Ibnu Rawahah dan
menyemangati para sahabat
saat menggali parit. Beliau
bersenandung, "Ya Allah tiada
kehidupan kecuali kehidupan
akhirat, maka ampunilah kaum
Anshar dan Muhajirin." Seketika
kaum Muhajirin dan Anshar
menyambutnya dengan
senandung lain, "Kita telah
membai'at Muhammad, kita
selamanya selalu dalam jihad."
Ketika menggali tanah bersama
para sahabatnya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersenandung dengan sya'ir
Ibnu Rawahah yang lain,
"Demi Allah, jika bukan karena
Allah, tentu kita tidak mendapat
petunjuk, tidak pula kita
bersedekah, tidak pula
mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan
kepada kami, mantapkan
langkah dan pendirian kami jika
bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah men
durhakai kami, jika mereka
mengingin-kan fitnah, maka
kami menolaknya."
Dengan suara koor dan tinggi
mereka balas bersenandung,
"Kami menolaknya,...kami
menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)
4. Nyanyian yang mengandung
pengesaan Allah Subhanahu
wata ’ala, kecintaan kepada
Rasululah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan menyebutkan
sifat-sifat beliau yang terpuji;
atau mengandung anjuran
berjihad, teguh pendirian dan
memperbaiki akhlak; atau
seruan kepada saling mencintai,
tolong- menolong di antara
sesama; atau menyebutkan
beberapa kebaikan Islam,
berbagai prinsipnya serta hal-hal
lain yang bermanfaat buat
masyarakat Islam, baik dalam
agama atau akhlak mereka.
Di antara berbagai alat musik
yang diperbolehkan hanyalah
rebana. Itupun penggunaannya
terbatas hanya saat pesta
pernikahan dan khusus bagi
para wanita. Kaum laki-laki sama
sekali tidak dibolehkan
memakainya. Sebab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
memakainya. Demikian pula
halnya dengan para sahabat
beliau radhiallahu 'anhum
ajma'in.
Orang-orang Sufi
memperbolehkan rebana,
bahkan mereka berpendapat
bahwa menabuh rebana ketika
dzikir hukumnya sunnat,
padahal ia adalah bid'ah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Jauhilah
perkara-perkara yang diada-
adakan, karena sesungguhnya
setiap perkara yang diada-
adakan adalah bid'ah. dan setiap
bid'ah adalah sesat." (HR.
Turmudzi, beliau berkata, “Hadits
hasan sha-hih.”).
bin Baz ditanya:
Apa hukum menyanyi,
apakah haram atau
diperbolehkan, walaupun
saya mendengarnya hanya
sebatas hiburan saja ? Apa
hukum memainkan alat
muzik rebab dan lagu-lagu
klasik ? Apakah menabuh
genderang saat perkawinan
diharamkan, sedangkan saya
pernah mendengar bahwa
hal itu dibolehkan ? Semoga
Allah memberimu pahala dan
mengampuni segala dosamu.
Jawaban.
Sesungguhnya mendengarkan
nyanyian atau lagu hukumnya
haram dan merupakan perbuatan
mungkar yang dapat
menimbulkan penyakit,
kekerasan hati dan dapat
membuat kita lalai dari
mengingat Allah serta lalai
melaksanakan shalat.
Kebanyakan ulama menafsirkan
kata lahwal hadits (ucapan yang
tidak berguna) dalam firman
Allah dengan nyanyian atau lagu:
"Artinya : Dan diantara
manusia (ada) orang yang
mempergunakan ucapan
yang tidak berguna".
[Luqman : 6]
Abdullah bin Mas'ud Radhiyallahu
'anhu bersumpah bahwa yang
dimaksud dengan kata lahwul
hadits adalah nyanyian atau
lagu. Jika lagu tersebut diiringi
oleh muzik rebab, kecapi, biola,
serta gendang, maka kadar
keharamannya semakin
bertambah. Sebagian ulama
bersepakat bahwa nyanyian
yang diiringi oleh alat muzik
hukumnya adalah haram, maka
wajib untuk dijauhi.
Dalam sebuah hadits shahih dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam beliau berpendapat.
"Artinya : Sesungguhnya
akan ada segolongan orang
dari kaumku yang
menghalalkan zina, kain
sutera, khamr, dan alat
muzik".[1]
Yang dimaksud dengan al-hira
pada hadits di atas adalah
perbuatan zina, sedangkan yang
dimaksud al-ma'azif adalah
segala macam jenis alat
muzik. Saya menasihati anda
semua untuk mendengarkan
lantunan al-Qur'an yang di
dalamnya terdapat seruan untuk
berjalan di jalan yang lurus
karena hal itu sangat bermanfaat.
Berapa banyak orang yang telah
dibuat lalai karena mendengar
nyanyian dan alat muzik.
Adapun pernikahan, maka
disyariatkan di dalamnya untuk
membunyikan alat muzik rebana
disertai nyanyian yang biasa
dinyanyikan untuk
mengumumkan suatu
pernikahan, yang didalamnya
tidak ada seruan maupun pujian
untuk sesuatu yang diharamkan,
yang dikumandangkan pada
malam hari khusus bagi kaum
wanita sebagai pengumuman
pernikahan mereka agar dapat
dibezakan dengan perbuatan
zina, sebagaimana yang
dibenarkan dalam hadits shahih
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam
Sedangkan genderang dilarang
membunyikannya dalam sebuah
pernikahan, cukup hanya dengan
memukul rebana saja. Juga dalam
mengumumkan pernikahan
maupun melantunkan lagu yang
biasa dinyanyikan untuk
mengumumkan pernikahan tidak
boleh menggunakan pengeras
suara, karena hal itu dapat
menimbulkan fitnah yang besar,
akibat-akibat yang buruk, serta
dapat merugikan kaum muslimin.
Selain itu, acara nyanyian
tersebut tidak boleh berlama-
lama, cukup sekedar dapat
menyampaikan pengumuman
nikah saja, karena dengan
berlama-lama dalam nyanyian
tersebut dapat melewatkan
waktu fajar dan mengurangi
waktu tidur. Menggunakan
waktu secara berlebihan untuk
nyanyian (dalam pengumuman
nikah tersebut) merupakan
sesuatu yang dilarang dan
merupakan perbuatan orang-
orang munafik.
[Oleh: Syaikh Abdul Aziz bin
Abdullah bin Baz, Mjalah Ad-
Dakwah, edisi 902, Syawal
1403H]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-
Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-
Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-
Balad Al-Haram, Penyusun Khalid
Al-Juraisy, Edisi Indonesia Fatwa-
Fatwa Terkini, Penerbit Darul Haq]
_________
Foote Note
[1] Al-Bukhari tentang minuman
dalam bab ma ja'a fi man
yastahillu al-khamr wa yusmmihi
bi ghairai ismih
Tambahan
Ada beberapa nyanyian yang
diperbolehkan, yaitu:
1. Menyanyi pada hari raya.
--------------------------->>>
Hal itu berdasarkan hadits
A'isyah,"Suatu ketika Rasul
Shallallahu ‘alaihi wasallam
masuk ke bilik 'Aisyah, sedang di
sisinya ada dua orang hamba
sahaya wanita yang masing-
masing memukul rebana (dalam
riwayat lain ia berkata, "... dan di
sisi saya terdapat dua orang
hamba sahaya yang sedang
menyanyi."), lalu Abu Bakar
mencegah keduanya. Tetapi
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam justru bersabda,
"Biarkanlah mereka karena
sesung-guhnya masing-masing
kaum memiliki hari raya,
sedangkan hari raya kita adalah
pada hari ini." (HR. al-Bukhari).
2. Menyanyi dengan rebana
ketika berlangsung pesta
pernikahan, untuk
menyemarakkan suasana
sekaligus memperluas kabar
pernikahannya.
--------------------------->>>
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, "Pembeda antara yang
halal dengan yang haram adalah
memukul rebana dan suara
(lagu) pada saat
pernikahan." (Hadits shahih
riwayat Ahmad). Yang dimaksud
di sini adalah khusus untuk
kaum wanita.
3. Nasyid Islami (nyanyian Islami
tanpa diiringi dengan musik)
yang disenandungkan saat
bekerja sehingga bisa lebih
membangkitkan semangat,
terutama jika di dalamnya
terdapat do'a.
--------------------------->>>
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam menyenandungkan
sya'ir Ibnu Rawahah dan
menyemangati para sahabat
saat menggali parit. Beliau
bersenandung, "Ya Allah tiada
kehidupan kecuali kehidupan
akhirat, maka ampunilah kaum
Anshar dan Muhajirin." Seketika
kaum Muhajirin dan Anshar
menyambutnya dengan
senandung lain, "Kita telah
membai'at Muhammad, kita
selamanya selalu dalam jihad."
Ketika menggali tanah bersama
para sahabatnya, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam juga
bersenandung dengan sya'ir
Ibnu Rawahah yang lain,
"Demi Allah, jika bukan karena
Allah, tentu kita tidak mendapat
petunjuk, tidak pula kita
bersedekah, tidak pula
mengerjakan shalat.
Maka turunkanlah ketenangan
kepada kami, mantapkan
langkah dan pendirian kami jika
bertemu (musuh)
Orang-orang musyrik telah men
durhakai kami, jika mereka
mengingin-kan fitnah, maka
kami menolaknya."
Dengan suara koor dan tinggi
mereka balas bersenandung,
"Kami menolaknya,...kami
menolaknya." (Muttafaq 'Alaih)
4. Nyanyian yang mengandung
pengesaan Allah Subhanahu
wata ’ala, kecintaan kepada
Rasululah Shallallahu ‘alaihi
wasallam dengan menyebutkan
sifat-sifat beliau yang terpuji;
atau mengandung anjuran
berjihad, teguh pendirian dan
memperbaiki akhlak; atau
seruan kepada saling mencintai,
tolong- menolong di antara
sesama; atau menyebutkan
beberapa kebaikan Islam,
berbagai prinsipnya serta hal-hal
lain yang bermanfaat buat
masyarakat Islam, baik dalam
agama atau akhlak mereka.
Di antara berbagai alat musik
yang diperbolehkan hanyalah
rebana. Itupun penggunaannya
terbatas hanya saat pesta
pernikahan dan khusus bagi
para wanita. Kaum laki-laki sama
sekali tidak dibolehkan
memakainya. Sebab Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak
memakainya. Demikian pula
halnya dengan para sahabat
beliau radhiallahu 'anhum
ajma'in.
Orang-orang Sufi
memperbolehkan rebana,
bahkan mereka berpendapat
bahwa menabuh rebana ketika
dzikir hukumnya sunnat,
padahal ia adalah bid'ah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda, "Jauhilah
perkara-perkara yang diada-
adakan, karena sesungguhnya
setiap perkara yang diada-
adakan adalah bid'ah. dan setiap
bid'ah adalah sesat." (HR.
Turmudzi, beliau berkata, “Hadits
hasan sha-hih.”).
Ilmu kasyaf. Sahihkah?
Ilmu kasyaf atau yang lebih dikenal dengan ilmu laduni (ilmu batin) tidaklah asing ditelinga kita, lebih – lebih lagi bagi siapa saja yang sangat erat hubungannya dengan tasawuf beserta tarekat-tarekatnya.
Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat.
Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Tasawuf Dan Ilmu Laduni". Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=271334887044&ref=mf
Kata sebagian orang: “Ilmu ini sangat langka dan sakral. Tak sembarang orang bisa meraihnya, kecuali para wali yang telah sampai pada tingkatan ma’rifat. Sehingga jangan sembrono untuk buruk sangka, apalagi mengkritik wali-wali yang tingkah lakunya secara dhahir menyelisihi syariat.
Wali-wali atau gus-gus itu beda tingkatan dengan kita, mereka sudah sampai tingkatan ma’rifat yang tidak boleh ditimbang dengan timbangan syari’at lagi”. Benarkah demikian? Inilah topik yang kita kupas pada kajian kali ini.
Hakikat Ilmu Laduni
Kaum sufi telah memproklamirkan keistimewaan ilmu laduni. Ia merupakan ilmu yang paling agung dan puncak dari segala ilmu. Dengan mujahadah, pembersihan dan pensucian hati akan terpancar nur dari hatinya, sehingga tersibaklah seluruh rahasia-rahasia alam ghaib bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah, para Rasul dan ruh-ruh yang lainnya, termasuk nabi Khidhir. Tidaklah bisa diraih ilmu ini kecuali setelah mencapai tingkatan ma’rifat melalui latihan-latihan, amalan-amalan, ataupun dzikir-dzikir tertentu.
Ini bukan suatu wacana atau tuduhan semata, tapi terucap dari lisan tokoh-tokoh tenar kaum sufi, seperti Al Junaidi, Abu Yazid Al Busthami, Ibnu Arabi, Al Ghazali, dan masih banyak lagi yang lainnya yang terdapat dalam karya-karya tulis mereka sendiri.
1. Al Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin 1/11-12 berkata: “Ilmu kasyaf adalah tersingkapnya tirai penutup, sehingga kebenaran dalam setiap perkara dapat terlihat jelas seperti menyaksikan langsung dengan mata kepala … inilah ilmu-ilmu yang tidak tertulis dalam kitab-kitab dan tidak dibahas … “. Dia juga berkata: “Awal dari tarekat, dimulai dengan mukasyafah dan musyahadah, sampai dalam keadaan terjaga (sadar) bisa menyaksikan atau berhadapan langsung dengan malaikat-malaikat dan juga ruh-ruh para Nabi dan mendengar langsung suara-suara mereka bahkan mereka dapat langsung mengambil ilmu-ilmu dari mereka”. (Jamharatul Auliya’: 155)
2. Abu Yazid Al Busthami berkata: “Kalian mengambil ilmu dari orang-orang yang mati. Sedang kami mengambil ilmu dari Allah yang Maha Hidup dan tidak akan mati. Orang seperti kami berkata: “Hatiku telah menceritakan kepadaku dari Rabbku”. (Al Mizan: 1/28)
3. Ibnu Arabi berkata: “Ulama syariat mengambil ilmu mereka dari generasi terdahulu sampai hari kimat. Semakin hari ilmu mereka semakin jauh dari nasab. Para wali mengambil ilmu mereka langsung dari Allah yang dihujamkan ke dalam dada-dada mereka.” (Rasa’il Ibnu Arabi hal. 4)
Dedengkot wihdatul wujud ini juga berkata: “Sesungguhnya seseorang tidak akan sempurna kedudukan ilmunya sampai ilmunya berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung tanpa melalui perantara, baik dari penukilan ataupun dari gurunya. Sekiranya ilmu tadi diambil melalui penukilan atau seorang guru, maka tidaklah kosong dari sistim belajar model tersebut dari penambahan-penambahan. Ini merupakan aib bagi Allah ‘Azza wa Jalla – sampai dia berkata – maka tidak ada ilmu melainkan dari ilmu kasyaf dan ilmu syuhud bukan dari hasil pembahasan, pemikiran, dugaan ataupun taksiran belaka”.
Ilmu Laduni Dan Dampak Negatifnya Terhadap Umat
Kaum sufi dengan ilmu laduninya memiliki peran sangat besar dalam merusak agama Islam yang mulia ini. Dengannya bermunculan akidah-akidah kufur –seperti diatas – dan juga amalan-amalan bid’ah. Selain dari itu, mereka secara langsung ataupun tidak langsung terlibat dalam kasus pembodohan umat. Karena menuntut ilmu syar’i merupakan pantangan besar bagi kaum sufi. Berkata Al Junaidi: “Saya anjurkan kepada kaum sufi supaya tidak membaca dan tidak menulis, karena dengan begitu ia bisa lebih memusatkan hatinya. (Quutul Qulub 3/135)
Abu Sulaiman Ad Daraani berkata: “Jika seseorang menuntut ilmu hadits atau bersafar mencari nafkah atau menikah berarti ia telah condong kepada dunia”. (Al Futuhaat Al Makiyah 1/37)
Berkata Ibnul Jauzi: “Seorang guru sufi ketika melihat muridnya memegang pena. Ia berkata: “Engkau telah merusak kehormatanmu.” (Tablis Iblis hal. 370)
Oleh karena itu Al Imam Asy Syafi’i berkata: “Ajaran tasawuf itu dibangun atas dasar rasa malas.” (Tablis Iblis:309)
Tak sekedar melakukan tindakan pembodahan umat, merekapun telah jatuh dalam pengkebirian umat. Dengan membagi umat manusia menjadi tiga kasta yaitu: syariat, hakekat, dan ma’rifat, seperti Sidarta Budha Gautama membagi manusia menjadi empat kasta. Sehingga seseorang yang masih pada tingkatan syari’at tidak boleh baginya menilai atau mengkritik seseorang yang telah mencapai tingkatan ma’rifat atau hakekat.
Syubhat-Syubhat Kaum Sufi Dan Bantahannya
1. Kata laduni mereka petik dari ayat Allah yang berbunyi:
وَعَلَمَّنَاهُ مِنْ لَدُنَّا عِلْمًا
“Dan kami telah ajarkan kepadanya (Nabi khidhir) dari sisi Kami suatu ilmu”. (Al Kahfi: 65)
Mereka memahami dari ayat ini adanya ilmu laduni sebagaimana yang Allah anugerahkan ilmu tersebut kepada Nabi Khidhir. Lebih anehnya mereka meyakini pula bahwa Nabi Khidhir hidup sampai sekarang dan membuka majlis-majlis ta’lim bagi orang-orang khusus (ma’rifat).
Telah menjadi ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum muslimin, wajibnya beriman kepada nabi-nabi Allah tanpa membedakan satu dengan yang lainnya dan mereka diutus khusus kepada kaumnya masing-masing. Nabi Khidhir diutus untuk kaumnya dan syari’at Nabi Khidhir bukanlah syari’at bagi umat Muhammad. Rasulullah bersabda:
كَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً
“Nabi yang terdahulu diutus khusus kepada kaumnya sendiri dan aku diutus kepada seluruh umat manusia” (Muttafaqun ‘alaihi)
Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad), melainkan kepada seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan peringatan”. (As Saba’: 28)
Adapun keyakinan bahwa Nabi Khidhir masih hidup dan terus memberikan ta’lim kepada orang-orang khusus, maka bertentangan dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Allah berfirman:
وَمَا جَعَلْنَا لِبَشَرٍ مِنْ قَبْلِكَ الْخُلْدَ أَفَإِنْ مِتَّ فَهُمُ الْخَالِدُونَ
(artinya) “Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad). (Al Anbiya’: 34)
Rasulullah bersabda:
مَا مِنْ مَنْفُوْسَةٍ اليَوْمَ تَأْتِيْ عَلَيْهَا مِائَةُ سَنَةٍ وَهِيَ يَوْمَئِذٍ حَيَّةٌ
“Tidak satu jiwapun hari ini yang akan bertahan hidup setelah seratus tahun kedepan”. (H.R At Tirmidzi dan Ahmad)
Adapun keyakinan kaum sufi bahwa seseorang yang sudah mencapai ilmu kasyaf, akan tersingkap baginya rahasia-rahasia alam ghaib. Dengan cahaya hatinya, ia bisa berkomunikasi dengan Allah, para Rasul, malaikat, ataupun wali-wali Allah. Pada tingkatan musyahadah, ia dapat berinteraksi langsung tanpa adanya pembatas apapun.
Cukup dengan pengakuannya mengetahui ilmu ghaib, sudah bisa dikatakan ia sebagai seorang pendusta. Rasul Shalallahu ‘alaihi wassalam adalah seorang yang paling mulia dari seluruh makhluk Allah, namun Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam tidaklah mengetahui ilmu ghaib kecuali apa yang telah diwahyukan kepadanya.
قُلْ إِنْ أَدْرِي أَقَرِيبٌ مَا تُوعَدُونَ أَمْ يَجْعَلُ لَهُ رَبِّي أَمَدًا ﴿٢٥﴾ عَالِمُ الْغَيْبِ فَلاَ يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا
“Dia (Allah) yang mengetahui ilmu ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan seseorangpun tentang yang ghaib kecuali dari para rasul yang diridhai-Nya”. (Al Jin: 25-26)
Apalagi mengaku dapat berkomunikasi dengan Allah atau para arwah yang ghaib baik lewat suara hatinya atau berhubungan langsung tanpa adanya pembatas adalah kedustaan yang paling dusta. Akal sehat dan fitrah suci pasti menolaknya sambil berkata: “Tidaklah muncul omongan seperti itu kecuali dari orang stres saja”. Kalau ada yang bertanya, lalu suara dari mana itu? Dan siapa yang diajak bicara? Kita jawab, maha benar Allah dari segala firman-Nya:
هَلْ أُنَبِّئُكُمْ عَلَى مَنْ تَنَزَّلُ الشَّيَاطِينُ ﴿٢٢١﴾ تَنَزَّلُ عَلَى كُلِّ أَفَّاكٍ أَثِيمٍ ﴿٢٢٢﴾ يُلْقُونَ السَّمْعَ وَأَكْثَرُهُمْ كَاذِبُونَ ﴿٢٢۳﴾
“Apakah akan Aku beritakan, kepada siapa syaithan-syaithan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi banyak dosa, mereka menghadapkan pendengaran (kepada syaithan) itu, dan kebanyakan mereka orang-orang pendusta”. (Asy Syu’ara: 221-223)
2. Sebagian kaum sufi berkilah dengan pernyataannya bahwa ilmu laduni (Al Kasyaf) merupakan ilham dari Allah (yang diistilahkan wangsit). Dengan dalih hadits Nabi Muhammad:
إِنَّهُ قَدْ كَانَ قَبْلَكُمْ فِيْ الأَمَمِ مُحَدَّثُوْنَ فَإِنْ يَكَنْ فِيْ أُمَّتِي أَحَدٌ فَعُمَر
“Dahulu ada beberapa orang dari umat-umat sebelum kamu yang diberi ilham. Kalaulah ada satu orang dari umatku yang diberi ilham pastilah orang itu Umar.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Hadits ini sama sekali tidak bisa dijadikan hujjah bagi mereka. Makna dhohir hadits ini, menunjukkan keberadaan ilham itu dibatasi dengan huruf syarat (kalaulah ada). Maksudnya, kalaupun ada pada umat ini, pastilah orang yang mendapatkan ilham adalah Umar Ibnul Khathab. Sehingga beliau digelari al mulham (orang yang mendapatkan ilham). Dan bukan menunjukkan dianjurkannya cari wangsit, seperti petuah tokoh-tokoh tua kaum sufi. Bagaimana mereka bisa memastikan bisikan-bisikan dalam hati itu adalah ilham? Sementara mereka menjauhkan dari majlis-majlis ilmu yang dengan ilmu syar’i inilah sebagai pemisah antara kebenaran dengan kebatilan.
Mereka berkilah lagi: “Ini bukan bisikan-bisikan syaithan, tapi ilmu laduni ini merubah firasat seorang mukmin, bukankah firasat seorang mukmin itu benar? Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam: “Hati-hati terhadap firasat seorang mukmin. Karena dengannya ia melihat cahaya Allah”. (H.R At Tirmidzi)
Hadits ini dho’if (lemah), sehingga tidak boleh diamalkan. Karena ada seorang perawi yang bernama Athiyah Al Aufi. Selain dia seorang perawi yang dho’if, diapun suka melakukan tadlis (penyamaran hadits).
Singkatnya, ilham tidaklah bisa mengganti ilmu naqli (Al Qur’an dan As Sunnah), lebih lagi sekedar firasat. Ditambah dengan adanya keyakinan-keyakinan batil yang ada pada mereka seperti mengaku mengetahui alam ghaib, merupakan bukti kedustaan diatas kedustaan. Berarti, yang ada pada kaum sufi dengan ilmu laduninya, bukanlah suatu ilham melainkan bisikan-bisikan syaithan atau firasat rusak yang bersumber dari hawa nafsu semata. Disana masih banyak syubhat-syubhat mereka, tapi laksana sarang laba-laba, dengan fitrah sucipun bisa meruntuhkan dan membantahnya.
Hadits-Hadits Dho’if Dan Palsu Yang Tersebar Di Kalangan Umat
Hadits Ali bin Abi Thalib:
عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ ، وَحُكْمٌ مِنْ أَحْكَامِ اللهِ ، يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءَ مِنْ عِبَادِهِ
“Ilmu batin merupakan salah satu rahasia Allah ‘Azza wa Jalla, dan salah satu dari hukum-hukum-Nya yang Allah masukkan kedalam hati hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya”.
Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Wahiyaat 1/74, beliau berkata: “Hadits ini tidak shahih dan secara mayoritas para perawinya tidak dikenal”. Al Imam Adz Dzahabi berkata: “Ini adalah hadits batil”. Asy Syaikh Al Albani menegaskan bahwa hadits ini palsu. (Lihat Silsilah Adh Dha’ifah no 1227)
(Dikutip dari Buletin Islam Al Ilmu Edisi 31/II/I/1425, diterbitkan Yayasan As Salafy Jember. Judul asli "Tasawuf Dan Ilmu Laduni". Dikirim oleh al Al Akh Ibn Harun via email.)
http://www.facebook.com/note.php?note_id=271334887044&ref=mf
Karena Kedekatan Imam Ali Musa bin al-Ridha dan Imam Khomenini itulah....
Hujjatul Islam wal Muslimin Sayyid Jawad Alamul Huda mengisahkan:
Hubungan Imam Khomeini dengan para imam suci terjalin sedemikian rupa, sehingga saya dan orang-orang seperti saya tak mampu menjangkaunya. Saya adalah orang kepercayaan Imam Khomeini yang mendapat perintah langsung dari beliau untuk menyampaikan surat kepada Imam Kedelapan (Imam Ali bin Musa al-Ridha) di kota Masyhad.
Pada akhir tahun 1341 Hijriyah Syamsiyah, Imam Khomeini mulai menjelaskan kepada kaum muslimin tentang perlawanannya (terhadap penguasa zalim) di masjid al-A'dham (kota Qum). Dengan perantara surat, Imam Khomeini berupaya menyadarkan para ulama besar di setiap kota di Iran, bahkan yang tinggal di kota-kota perbatasan Iran.
Karena saya penduduk kota Masyhad, maka saya mengenal dengan baik kaum ruhaniawan, mulai dari kota Khurasan (Masyhad) hingga kota Zahedan. Imam Khomeini menulis sepuluh pucuk surat yang ditulis beliau sendiri untuk para ulama di pelbagai kota di Iran. Imam Khomeini juga menjelaskan kepada saya tentang bahaya ancaman Amerika dan antek-anteknya di Iran masa itu.
Suatu malam, pukul 22.00, saya ke rumah Imam Khomeini guna mencium tangan beliau untuk yang terakhir kalinya dan mengambil surat dari beliau. Imam Khomeini berkata kepada saya, "Jangan sampai ada orang yang mengetahui perjalanan Anda dan tugas Anda. Sebelum melakukan hal-hal lain, berziarahlah ke makam suci Imam Ali bin Musa al-Ridha di Masyhad dan sampaikanlah kepada beliau kalimat berikut ini:
"Wahai junjunganku! Kami hendak melakukan langkah besar demi Islam dan menyelamatkan kaum muslimin secara luas. Jika Anda menganggap langkah ini baik, maka dukunglah kami. Dan bila Anda menganggapnya buruk, maka kabarkanlah pada kami saat ini juga; kami akan menghentikan langkah kami sekarang juga.'"
Imam Khomeini menekankan pada saya, "Janganlah Anda sampaikan kalimat ini pada siapapun juga!"
Atas dasar ini, sebelum berjumpa kaum ruhaniawan di Masyhad, saya langsung berziarah ke makam suci Imam Ali bin Musa al-Ridha dan menyampaikan secara persis kalimat-kalimat Imam Khomeini itu di hadapan makam suci Imam Ali al-Ridha.
Setelah itu, saya menyerahkan surat Imam Khomeini kepada kaum ruhaniawan di Masyhad dan beroleh persetujuan tertulis dari mereka. Rencananya, mereka akan mengirimkan surat (persetujuan) itu secara langsung ke rumah Imam Khomeini.
Dari Masyhad, saya menuju kota Turbat. Dari kota Turbat, saya lanjutkan perjalanan ke kota Firdaus. Dari kota Firdaus, saya ke kota Birjand. Dan dari kota ini, saya menuju kota Zahedan.
Surat terakhir ditujukan untuk Ayatullah Kaf'ami, ulama besar dan pejuang di provinsi Baluchestan. Beliau menyambut dengan penuh hormat surat Imam Khomeini dan menciumnya.
Sebelumnya, Ayatullah Kaf'ami bersepakat dengan Maulawi Abdul Aziz untuk mengadakan shalat Jumat di kota Zahedan. Pada Jumat pertama, Maulawi Abdul Aziz memimpin shalat Jumat di masjid umum kota Zahedan. Dan pada Jumat berikutnya, Ayatullah Kaf'ami bertindak sebagai khatib dan imam shalat Jumat di masjid jamik kota Zahedan. Kebetulan, esok harinya bertepatan dengan giliran Ayatullah Kaf'ami memimpin shalat Jumat di masjid jamik Zahedan.
Hari itu, Ayatullah Kaf'ami datang dengan mengenakan kain kafan dan membawa pedang di tangannya. Maulawi Abdul Aziz dan seluruh ulama (termasuk ulama Ahlussunnah) turut hadir dalam shalat Jumat tersebut. Pada khutbah kedua, Ayatullah Kaf'ami membacakan surat Imam Khomeini dengan jelas dan lantang. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan sebelumnya, usai shalat Jumat, masing-masing kelompok dari mazhab Syiah dan Sunah sepakat menandatangani surat persetujuan, sebagai bukti dukungan atas gerakan Imam Khomeini. Pada saat itulah, terlintas di benak saya; pesan Imam Khomeini untuk Imam Ali bin Musa al-Ridha telah beroleh persetujuan beliau dan mendapat dukungan ghaib.
Surat-surat persetujuan dari kaum muslimin terkumpul sangat banyak. Ayatullah Kaf'ami bersedia berangkat bersama saya menuju kota Qum, guna menyerahkan surat-surat dukungan itu kepada Imam Khomeini. Tatkala saya menceritakan kepada Imam Khomeini tentang kejadian yang saya alami selama di perjalanan, saya merasa Imam Khomeini telah beroleh jawaban berupa dukungan langsung dari Imam Ali bin Musa al-Ridha. []
Hubungan Imam Khomeini dengan para imam suci terjalin sedemikian rupa, sehingga saya dan orang-orang seperti saya tak mampu menjangkaunya. Saya adalah orang kepercayaan Imam Khomeini yang mendapat perintah langsung dari beliau untuk menyampaikan surat kepada Imam Kedelapan (Imam Ali bin Musa al-Ridha) di kota Masyhad.
Pada akhir tahun 1341 Hijriyah Syamsiyah, Imam Khomeini mulai menjelaskan kepada kaum muslimin tentang perlawanannya (terhadap penguasa zalim) di masjid al-A'dham (kota Qum). Dengan perantara surat, Imam Khomeini berupaya menyadarkan para ulama besar di setiap kota di Iran, bahkan yang tinggal di kota-kota perbatasan Iran.
Karena saya penduduk kota Masyhad, maka saya mengenal dengan baik kaum ruhaniawan, mulai dari kota Khurasan (Masyhad) hingga kota Zahedan. Imam Khomeini menulis sepuluh pucuk surat yang ditulis beliau sendiri untuk para ulama di pelbagai kota di Iran. Imam Khomeini juga menjelaskan kepada saya tentang bahaya ancaman Amerika dan antek-anteknya di Iran masa itu.
Suatu malam, pukul 22.00, saya ke rumah Imam Khomeini guna mencium tangan beliau untuk yang terakhir kalinya dan mengambil surat dari beliau. Imam Khomeini berkata kepada saya, "Jangan sampai ada orang yang mengetahui perjalanan Anda dan tugas Anda. Sebelum melakukan hal-hal lain, berziarahlah ke makam suci Imam Ali bin Musa al-Ridha di Masyhad dan sampaikanlah kepada beliau kalimat berikut ini:
"Wahai junjunganku! Kami hendak melakukan langkah besar demi Islam dan menyelamatkan kaum muslimin secara luas. Jika Anda menganggap langkah ini baik, maka dukunglah kami. Dan bila Anda menganggapnya buruk, maka kabarkanlah pada kami saat ini juga; kami akan menghentikan langkah kami sekarang juga.'"
Imam Khomeini menekankan pada saya, "Janganlah Anda sampaikan kalimat ini pada siapapun juga!"
Atas dasar ini, sebelum berjumpa kaum ruhaniawan di Masyhad, saya langsung berziarah ke makam suci Imam Ali bin Musa al-Ridha dan menyampaikan secara persis kalimat-kalimat Imam Khomeini itu di hadapan makam suci Imam Ali al-Ridha.
Setelah itu, saya menyerahkan surat Imam Khomeini kepada kaum ruhaniawan di Masyhad dan beroleh persetujuan tertulis dari mereka. Rencananya, mereka akan mengirimkan surat (persetujuan) itu secara langsung ke rumah Imam Khomeini.
Dari Masyhad, saya menuju kota Turbat. Dari kota Turbat, saya lanjutkan perjalanan ke kota Firdaus. Dari kota Firdaus, saya ke kota Birjand. Dan dari kota ini, saya menuju kota Zahedan.
Surat terakhir ditujukan untuk Ayatullah Kaf'ami, ulama besar dan pejuang di provinsi Baluchestan. Beliau menyambut dengan penuh hormat surat Imam Khomeini dan menciumnya.
Sebelumnya, Ayatullah Kaf'ami bersepakat dengan Maulawi Abdul Aziz untuk mengadakan shalat Jumat di kota Zahedan. Pada Jumat pertama, Maulawi Abdul Aziz memimpin shalat Jumat di masjid umum kota Zahedan. Dan pada Jumat berikutnya, Ayatullah Kaf'ami bertindak sebagai khatib dan imam shalat Jumat di masjid jamik kota Zahedan. Kebetulan, esok harinya bertepatan dengan giliran Ayatullah Kaf'ami memimpin shalat Jumat di masjid jamik Zahedan.
Hari itu, Ayatullah Kaf'ami datang dengan mengenakan kain kafan dan membawa pedang di tangannya. Maulawi Abdul Aziz dan seluruh ulama (termasuk ulama Ahlussunnah) turut hadir dalam shalat Jumat tersebut. Pada khutbah kedua, Ayatullah Kaf'ami membacakan surat Imam Khomeini dengan jelas dan lantang. Dengan segala persiapan yang telah dilakukan sebelumnya, usai shalat Jumat, masing-masing kelompok dari mazhab Syiah dan Sunah sepakat menandatangani surat persetujuan, sebagai bukti dukungan atas gerakan Imam Khomeini. Pada saat itulah, terlintas di benak saya; pesan Imam Khomeini untuk Imam Ali bin Musa al-Ridha telah beroleh persetujuan beliau dan mendapat dukungan ghaib.
Surat-surat persetujuan dari kaum muslimin terkumpul sangat banyak. Ayatullah Kaf'ami bersedia berangkat bersama saya menuju kota Qum, guna menyerahkan surat-surat dukungan itu kepada Imam Khomeini. Tatkala saya menceritakan kepada Imam Khomeini tentang kejadian yang saya alami selama di perjalanan, saya merasa Imam Khomeini telah beroleh jawaban berupa dukungan langsung dari Imam Ali bin Musa al-Ridha. []
Firman Allah SWT yang Menjelaskan Tentang Keramat Para Wali
Firman Allah swt menceritakan kejadian Sulaiman as : “Maka berkatalah Sulaiman (as) : siapakah diantara kalian yg dapat membawakan Singgasananya (Singgasana Ratu Balqis) kehadapanku sebelum mereka datang menyerahkan diri?, maka berkatalah seorang Ifrit dari golongan Jin : Aku akan membawakannya padamu sebelum kau berdiri dari kursimu!, sungguh aku memiliki kekuatan dan dapat dipercaya!, Maka berkatalah seseorang yg memiliki ilmu dari kitabullah : Aku akan membawakannya padamu (singgasana Ratu Balqis) sebelum engkau mengedipkan matamu, maka ketika Sulaiman (as) melihat singgasana itu dalam sekejap sudah tegak dihadapannya…” (QS Annaml 39-41)
Disini jika kita ringkaskan saja, maka tidak mustahil seorang wali Allah berkata aku mampu berbuat ini dan itu, aku mampu menghidupkan yg mati, aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum kau kedipkan matamu!, atau ucapan ucapan yg didasari kekuatan ilahiah, dan yg mengingkari hal ini maka Allah swt telah menyiapkan jawabannya sebelum mereka bertanya dan mengingkari, sbgmn firman Allah swt diatas, membuktikan bahwa ucapan itu bukan ucapan sombong, tapi justru merupakan tanda kebesaran Allah swt.
Firman Allah swt diatas ini jelas bukan tercantum pada Taurat, Zabur, Injil atau shuhuf para nabi terdahulu, padahal kejadiannya adalah pada ummat terdahulu, namun tercantum pada Alqur’an, agar Ummat Muhammad saw memahami bahwa jika muncul hal hal seperti ini pada masa mereka maka hal itu bukan hal yg aneh, namun hal biasa yg sudah terjadi pada ummat ummat terdahulu, justru yg mengingkari hal seperti ini kufur hukumnya karena ia mengingkari Alqur’an,
Firman Allah swt menceritakan kejadian Musa dan Khidir as dalam surat Al Kahfi:
Maka ia (Musa as) menemukan hamba dari hamba hamba hamba Kami yg kami beri padanya Rahmat dari sisi kami dan kami mengajarinya dengan ilmu dari sisi kami (Ladunniy) (65),
maka berkata padanya Musa : Bolehkah aku mengikutimu agar kau ajarkan dari kemuliaan kemuliaan yg diajarkan padamu? (66),
ia (Khidir as) menjawab : engkau tak akan mampu bersabar bersamaku (67),
dan bagaimana pula kau bisa bersabar pada apa apa yg kau belum dikabarkan? (68),
(Musa menjawab) engkau akan menyaksikan Insya Allah aku merupakan orang yg bersabar dan aku tak akan mengingkari urusanmu (69),
berkatalah ia (khidir as) : Jika kau mengikutiku janganlah kau bertanya apapun sampai aku sendiri yg mengabarkannya padamu (70),
maka mereka pun berlalu, hingga menumpang disebuah kapal dan ia (khidir as) menenggelamkannya, berkatalah (musa as) apakah kau merusak dan menenggelamkannya untuk mencelakakan pemiliknya, sungguh kau telah berbuat kejahatan! (71),
maka berkatalah ia (Khidir as) bukankah telah kukatakan bahwa engkau sungguh tak akan bersabar bersamaku? (72),
maka ia (Musa as) berkata : Jangan kau perdulikan kelupaanku, dan jangan menyulitkanmu persahabatanku dg mu (maafkan apa yg kuperbuat) (73),
maka mereka berlalu hingga menjumpai seorang anak, lalu ia (Khidir as) membunuhnya, maka Musa berkata: Apakah kau membunuh manusia suci tanpa sebab yg benar..??, sungguh kau telah berbuat kejahatan!! (74),
maka berkatalah ia (Khidir as) bukankah telah kukatakan bahwa engkau sungguh tak akan bersabar bersamaku? (75),
(Musa as berkata) Jika aku bertanya lagi tentang sesuatu maka jangan kau jalan bersamaku, karena aku telah berulang ulang berbuat kesalahan (76),
maka mereka berlalu hingga mereka mengunjungi sebuah perkampungan, dan mereka minta makan dan penduduk tak mau menjamu mereka, maka keduanya menemui sebuah tembok yg hampir roboh, maka ia (Khidir as) menegakkannya, maka ia berkata (Musa as) jika kau mau bisa saja kau membayar tukang untuk melakukannya (77),
berkatalah ia (khidir as) Inilah perpisahanku denganmu, akan kukabarkan padamu makna makna yg kau tak dapat bersabar atasnya (78),
mengenai kapal itu, adalah milik orang miskin yg bekerja dilautan dan aku sengaja merusaknya, karena dihadapan mereka ada penguasa yg akan merampas semua kapal kapal, (aku menenggelamkannya agar ka[al mereka selamat dan dapat diperbaiki dan barang barang dan hartanya selamat) (79),
mengenai anak yg kubunuh maka kedua ayah ibunya adalah orang mukmin, dan kami tak ingin ia hidup menjadi penjahat dan kufur (Sebagaimana riwayat Shahih Muslim bahwa anak itu akan tumbuh menjadi kafir dan kami menyayangi kedua orang tuanya dan tak mau mengecewakan keduanya) (80),
maka Allah ingin menggantikan untuk ayah ibunya yg lebih baik bagi mereka dan suci (81),
mengenai Tembok maka milik dua anak yatim di kota dan dibawahnya terdapat harta karun milik kedua ayah ibunya dan keduanya orang yg shalih, dan Allah menginginkan agar mereka dewasa dan mengeluarkan harta itu untuk mereka kelak, inilah rahmat dan kasih sayang pada mereka dari Tuhanmu, dan aku tidak memperbuat itu dari keinginan pribadiku, itulah makna dari apa apa yg kau tak bisa bersabar darinya (82). (QS Al Kahfi 65-82).
Jelaslah sudah bahwa Allah swt menguasakan kepada hamba hamba Nya beberapa hal yg tidak masuk akal dan bertentangan dg syariah, hal ini dimunculkan oleh Allah swt bahwa itu bukan berupa kegilaan, tapi justru kehendak Allah swt dan mengandung hikmah yg mendalam, dimana Allah swt mengajari Musa as bahwa tak bisa logika menjadi acuan atas segala hal, banyka hal gaib yg kelihatannya adalah kemungkaran namun justru merupakan Samudra kelembutan Allah swt.
Firman Allah swt dalam hadits Qudsiy : “Barangsiapa memusuhi wali Ku maka Ku umumkan perang padanya, tiadalah hamba hamba Ku mendekat pada Ku dengan hal hal yg telah kuwajibkan, dan hamba hamba Ku tak henti hentinya pula mendekat pada Ku dengan hal hal yg sunnah hingga Aku mencintainya, Jika Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, aku menjadi pandangannya yg ia gunakan untuk melihat, aku menjadi tangannya yg ia gunakan untuk melawan, aku menjadi kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi apa yg ia minta, dan jika ia mohon perlindungan pada Ku niscaya kuberi padanya perlindungan” (Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)
Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari menjelaskan makna hadits ini dalam 6 penafsiran, secara ringkasnya saja bahwa panca indera mereka telah suci dari hal hal dosa karena mereka menyucikannya, dan mereka tidak mau berucap terkecuali kalimat kalimat dzikir atau ucapan mulia, tak mau mendengar terkecuali yg mulia pula, demikian seluruh panca inderanya, dan Allah swt membimbing panca indera mereka untuk selalu mulia. (Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)
Maka yg terpenting dalam hadits mulia ini adalah perkataan : “Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaan Nya”, ucapan ini jelas jelas menjawab seluruh sangkalan mereka,
Bahwa bisa saja mereka berdoa pada Allah swt untuk menghidupkan yg mati, pindah ke tempat lain, mendengar atau melihat perasaan orang lain dlsb,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tajuddin Assubkiy bahwa diantara bentuk karamat adalah sepuluh macam, dan sungguh lebih banyak dari itu, yg pertama adalah Menghidupkan yg mati, kedua adalah berbicara dg yg mati, yg ketiga adalah terbelahnya lautan dan keringnya lautan, keempat adalah berubahnya bentuk, kelima adalah berjalan diatas air, keenam adalah ucapan hewan dan benda, ketujuh adalah taatnya hewan, kedelapan adalah digulungnya waktu, kesembilan terdiamnya lidah atau terucapkannya, kesepuluh adalah terkeluarkannya harta karun, demikian dijelaskan dg panjang lebar oleh Imam Tajuddin Assubkiy Dalam kitabnya Thabaqatussyafi’i Al Kubra Juz II hal 338 cetakan Darul Ihya)
Dan tentunya kejadian Tsunami di Aceh telah pula memperjelas ini, bahwa Air Dahsyat setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km/jam dan kekuatan ratusan juta ton, terbelah di makam makam shalihin dan masjid, menunjukkan kemuliaan dan keramat para Wali Allah yg dimuliakan Allah swt walau mereka telah wafat, mereka tetap Benteng Allah swt dimuka Bumi sebagaimana firman Nya : “Sungguh Bumi diwariskan Allah pada hamba hamba Nya yg shalih” (QS Al Anbiya 105).
Rasul saw bersabda : akan datang kelak…., atau akan muncul kelak setelah aku wafat…., atau kelak di hari kiamat…., hadits hadits shahih semacam ini ratusan banyaknya, merupakan tanda tanda hari kiamat, keadaan kelak di alam barzakh, keadaan di hari kiamat, kesemuanya dikabarkan oleh Rasul saw dengan gamblangnya menunjukkan bahwa beliau saw mengetahui apa yg akan terjadi, bahkan mengetahui seseorang itu akan mati dalam kebaikan atau dalam kekufuran, sebagaimana riwayat shahih Muslim yg menjelaskan bahwa seorang pejuang yg berjuang dengan giatnya namun Rasul saw berkata : “Dia ahli neraka!”, para sahabat menyangkalnya karena orang itu berjihad dengan semangat dan kesungguhan, namun terbuktilah pada akhirnya ia membunuh diri dengan memotong urat nadinya.
Sumber Habib Munzir Al Musawwa
Disini jika kita ringkaskan saja, maka tidak mustahil seorang wali Allah berkata aku mampu berbuat ini dan itu, aku mampu menghidupkan yg mati, aku mampu memindahkan singgasana itu sebelum kau kedipkan matamu!, atau ucapan ucapan yg didasari kekuatan ilahiah, dan yg mengingkari hal ini maka Allah swt telah menyiapkan jawabannya sebelum mereka bertanya dan mengingkari, sbgmn firman Allah swt diatas, membuktikan bahwa ucapan itu bukan ucapan sombong, tapi justru merupakan tanda kebesaran Allah swt.
Firman Allah swt diatas ini jelas bukan tercantum pada Taurat, Zabur, Injil atau shuhuf para nabi terdahulu, padahal kejadiannya adalah pada ummat terdahulu, namun tercantum pada Alqur’an, agar Ummat Muhammad saw memahami bahwa jika muncul hal hal seperti ini pada masa mereka maka hal itu bukan hal yg aneh, namun hal biasa yg sudah terjadi pada ummat ummat terdahulu, justru yg mengingkari hal seperti ini kufur hukumnya karena ia mengingkari Alqur’an,
Firman Allah swt menceritakan kejadian Musa dan Khidir as dalam surat Al Kahfi:
Maka ia (Musa as) menemukan hamba dari hamba hamba hamba Kami yg kami beri padanya Rahmat dari sisi kami dan kami mengajarinya dengan ilmu dari sisi kami (Ladunniy) (65),
maka berkata padanya Musa : Bolehkah aku mengikutimu agar kau ajarkan dari kemuliaan kemuliaan yg diajarkan padamu? (66),
ia (Khidir as) menjawab : engkau tak akan mampu bersabar bersamaku (67),
dan bagaimana pula kau bisa bersabar pada apa apa yg kau belum dikabarkan? (68),
(Musa menjawab) engkau akan menyaksikan Insya Allah aku merupakan orang yg bersabar dan aku tak akan mengingkari urusanmu (69),
berkatalah ia (khidir as) : Jika kau mengikutiku janganlah kau bertanya apapun sampai aku sendiri yg mengabarkannya padamu (70),
maka mereka pun berlalu, hingga menumpang disebuah kapal dan ia (khidir as) menenggelamkannya, berkatalah (musa as) apakah kau merusak dan menenggelamkannya untuk mencelakakan pemiliknya, sungguh kau telah berbuat kejahatan! (71),
maka berkatalah ia (Khidir as) bukankah telah kukatakan bahwa engkau sungguh tak akan bersabar bersamaku? (72),
maka ia (Musa as) berkata : Jangan kau perdulikan kelupaanku, dan jangan menyulitkanmu persahabatanku dg mu (maafkan apa yg kuperbuat) (73),
maka mereka berlalu hingga menjumpai seorang anak, lalu ia (Khidir as) membunuhnya, maka Musa berkata: Apakah kau membunuh manusia suci tanpa sebab yg benar..??, sungguh kau telah berbuat kejahatan!! (74),
maka berkatalah ia (Khidir as) bukankah telah kukatakan bahwa engkau sungguh tak akan bersabar bersamaku? (75),
(Musa as berkata) Jika aku bertanya lagi tentang sesuatu maka jangan kau jalan bersamaku, karena aku telah berulang ulang berbuat kesalahan (76),
maka mereka berlalu hingga mereka mengunjungi sebuah perkampungan, dan mereka minta makan dan penduduk tak mau menjamu mereka, maka keduanya menemui sebuah tembok yg hampir roboh, maka ia (Khidir as) menegakkannya, maka ia berkata (Musa as) jika kau mau bisa saja kau membayar tukang untuk melakukannya (77),
berkatalah ia (khidir as) Inilah perpisahanku denganmu, akan kukabarkan padamu makna makna yg kau tak dapat bersabar atasnya (78),
mengenai kapal itu, adalah milik orang miskin yg bekerja dilautan dan aku sengaja merusaknya, karena dihadapan mereka ada penguasa yg akan merampas semua kapal kapal, (aku menenggelamkannya agar ka[al mereka selamat dan dapat diperbaiki dan barang barang dan hartanya selamat) (79),
mengenai anak yg kubunuh maka kedua ayah ibunya adalah orang mukmin, dan kami tak ingin ia hidup menjadi penjahat dan kufur (Sebagaimana riwayat Shahih Muslim bahwa anak itu akan tumbuh menjadi kafir dan kami menyayangi kedua orang tuanya dan tak mau mengecewakan keduanya) (80),
maka Allah ingin menggantikan untuk ayah ibunya yg lebih baik bagi mereka dan suci (81),
mengenai Tembok maka milik dua anak yatim di kota dan dibawahnya terdapat harta karun milik kedua ayah ibunya dan keduanya orang yg shalih, dan Allah menginginkan agar mereka dewasa dan mengeluarkan harta itu untuk mereka kelak, inilah rahmat dan kasih sayang pada mereka dari Tuhanmu, dan aku tidak memperbuat itu dari keinginan pribadiku, itulah makna dari apa apa yg kau tak bisa bersabar darinya (82). (QS Al Kahfi 65-82).
Jelaslah sudah bahwa Allah swt menguasakan kepada hamba hamba Nya beberapa hal yg tidak masuk akal dan bertentangan dg syariah, hal ini dimunculkan oleh Allah swt bahwa itu bukan berupa kegilaan, tapi justru kehendak Allah swt dan mengandung hikmah yg mendalam, dimana Allah swt mengajari Musa as bahwa tak bisa logika menjadi acuan atas segala hal, banyka hal gaib yg kelihatannya adalah kemungkaran namun justru merupakan Samudra kelembutan Allah swt.
Firman Allah swt dalam hadits Qudsiy : “Barangsiapa memusuhi wali Ku maka Ku umumkan perang padanya, tiadalah hamba hamba Ku mendekat pada Ku dengan hal hal yg telah kuwajibkan, dan hamba hamba Ku tak henti hentinya pula mendekat pada Ku dengan hal hal yg sunnah hingga Aku mencintainya, Jika Aku mencintainya maka aku menjadi telinganya yg ia gunakan untuk mendengar, aku menjadi pandangannya yg ia gunakan untuk melihat, aku menjadi tangannya yg ia gunakan untuk melawan, aku menjadi kakinya yg ia gunakan untuk melangkah, Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi apa yg ia minta, dan jika ia mohon perlindungan pada Ku niscaya kuberi padanya perlindungan” (Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)
Al Hafidh Al Imam Ibn Hajar Al Asqalaniy dalam kitabnya Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari menjelaskan makna hadits ini dalam 6 penafsiran, secara ringkasnya saja bahwa panca indera mereka telah suci dari hal hal dosa karena mereka menyucikannya, dan mereka tidak mau berucap terkecuali kalimat kalimat dzikir atau ucapan mulia, tak mau mendengar terkecuali yg mulia pula, demikian seluruh panca inderanya, dan Allah swt membimbing panca indera mereka untuk selalu mulia. (Fathul Baari Bisyarh Shahih Bukhari Bab Arriqaaq/Tawadhu)
Maka yg terpenting dalam hadits mulia ini adalah perkataan : “Jika ia meminta pada Ku niscaya kuberi permintaan Nya”, ucapan ini jelas jelas menjawab seluruh sangkalan mereka,
Bahwa bisa saja mereka berdoa pada Allah swt untuk menghidupkan yg mati, pindah ke tempat lain, mendengar atau melihat perasaan orang lain dlsb,
sebagaimana dijelaskan oleh Imam Tajuddin Assubkiy bahwa diantara bentuk karamat adalah sepuluh macam, dan sungguh lebih banyak dari itu, yg pertama adalah Menghidupkan yg mati, kedua adalah berbicara dg yg mati, yg ketiga adalah terbelahnya lautan dan keringnya lautan, keempat adalah berubahnya bentuk, kelima adalah berjalan diatas air, keenam adalah ucapan hewan dan benda, ketujuh adalah taatnya hewan, kedelapan adalah digulungnya waktu, kesembilan terdiamnya lidah atau terucapkannya, kesepuluh adalah terkeluarkannya harta karun, demikian dijelaskan dg panjang lebar oleh Imam Tajuddin Assubkiy Dalam kitabnya Thabaqatussyafi’i Al Kubra Juz II hal 338 cetakan Darul Ihya)
Dan tentunya kejadian Tsunami di Aceh telah pula memperjelas ini, bahwa Air Dahsyat setinggi 30 meter dengan kecepatan 300km/jam dan kekuatan ratusan juta ton, terbelah di makam makam shalihin dan masjid, menunjukkan kemuliaan dan keramat para Wali Allah yg dimuliakan Allah swt walau mereka telah wafat, mereka tetap Benteng Allah swt dimuka Bumi sebagaimana firman Nya : “Sungguh Bumi diwariskan Allah pada hamba hamba Nya yg shalih” (QS Al Anbiya 105).
Rasul saw bersabda : akan datang kelak…., atau akan muncul kelak setelah aku wafat…., atau kelak di hari kiamat…., hadits hadits shahih semacam ini ratusan banyaknya, merupakan tanda tanda hari kiamat, keadaan kelak di alam barzakh, keadaan di hari kiamat, kesemuanya dikabarkan oleh Rasul saw dengan gamblangnya menunjukkan bahwa beliau saw mengetahui apa yg akan terjadi, bahkan mengetahui seseorang itu akan mati dalam kebaikan atau dalam kekufuran, sebagaimana riwayat shahih Muslim yg menjelaskan bahwa seorang pejuang yg berjuang dengan giatnya namun Rasul saw berkata : “Dia ahli neraka!”, para sahabat menyangkalnya karena orang itu berjihad dengan semangat dan kesungguhan, namun terbuktilah pada akhirnya ia membunuh diri dengan memotong urat nadinya.
Sumber Habib Munzir Al Musawwa
Menepis Anggapan Bulan Shafar Adalah Bulan Sial
Sebagaimana bulan Muharram (Jawa: Suro) itu diyakini sebagai bulan yang keramat dan membawa sial, maka muncul pula anggapan bahwa bulan Shafar adalah bulan yang membawa sial, naas, dan penuh dengan malapetaka. Karena bulan sial, maka tidak boleh mengadakan hajatan pada bulan tersebut, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan penting lainnya karena akan mendatangkan bencana, atau kegagalan dalam pekerjaannya itu.
Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.
“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.
Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.
Maroji’
* Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
* Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
* Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
* Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
* Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Sumber : http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1671
Sungguh sangat disayangkan, sebagian kaum muslimin di negeri ini pun justru terpengaruh oleh keyakinan yang merupakan warisan dari tradisi Paganisme Jahiliyyah para penyembah berhala itu.
Menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau hewan-hewan tertentu, atau sial karena melihat adanya peristiwa dan mimpi tertentu sebenarnya hanyalah khayalan dan khurafat belaka. Itu merupakan sebuah keyakinan yang menunjukkan dangkalnya aqidah dan tauhid orang-orang yang mempercayai keyakinan tersebut.
Alhamdulillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diutus oleh Allah subhanahu wata’ala dengan membawa misi utama berdakwah kepada tauhid dan memberantas segala bentuk kesyirikan telah menepis anggapan dan keyakinan yang bengkok tersebut. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَلاَ هَامَةَ وَلاَ صَفَرَ.
“Tidak ada penularan penyakit (dengan sendirinya), tidak ada thiyarah, tidak ada kesialan karena burung hantu, dan tidak ada kesialan pada bulan Shafar.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menolak keyakinan orang-orang Musyrikin Jahiliyyah yang menganggap bulan Shafar sebagai bulan sial, mereka mengatakan bahwa bulan Shafar adalah bulan bencana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menepis kebenaran anggapan tersebut. Bulan Shafar itu seperti bulan-bulan lainnya. Padanya ada kebaikan, ada juga kejelekan. Bulan Shafar tidak bisa memberikan pengaruh apa-apa. Bulan tersebut sama seperti waktu-waktu lainnya yang telah Allah subhanahu wata’ala jadikan sebagai kesempatan untuk melakukan amal-amal yang bermanfaat.
Keyakinan ini terus menerus ada pada sebagian umat Islam hingga hari ini. Ada di antara mereka yang menganggap sial bulan Shafar, ada yang menganggap sial hari-hari tertentu, seperti hari Rabu, atau hari Sabtu, atau hari-hari lainnya. Sehingga pada hari-hari tersebut mereka tidak berani melangsungkan pernikahan atau hajatan yang lain, karena mereka meyakini atau menganggap bahwa pernikahan pada hari-hari tersebut bisa menyebabkan ketidakharmonisan rumah tangga.
Ada pula yang berkeyakinan kalau mendengar burung gagak, melihat burung hantu, berpapasan dengan kucing hitam, atau yang lainnya, maka sebentar lagi akan celaka, atau akan ada orang meninggal, atau yang lainnya, dan seterusnya dari anggapan-anggapan negatif.
Anggapan Sial Terhadap Waktu-Waktu Tertentu Adalah Kesyirikan
Dalil-dalil yang ada di dalam Al-Qu’an dan hadits demikian jelas menyatakan keharaman kebiasaan tersebut. Perbuatan atau anggapan sial seperti itu termasuk kesyirikan dan tidak ada pengaruhnya dalam memberikan kemanfaatan atau menolak kemudharatan, karena tidak ada yang mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat kecuali Allah subhanahu wata’ala. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلَا كَاشِفَ لَهُ إِلَّا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلَا رَادَّ لِفَضْلِهِ.
“Jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan (manfaat) bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya tersebut.” (QS. Yunus: 107)
Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَاعْلَمْ أَنَّ اْلأُمَّةَ لَوِ اجَتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَنْفَعُوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَنْفَعُوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ لَكَ وَلَوِ اجْتَمَعُوا عَلَى أَنْ يَضُرُّوْكَ بِشَيْءٍ لَمْ يَضُرُّوْكَ إِلاَّ بِشَيْءٍ قَدْ كَتَبَهُ اللهُ عَلَيْكَ.
“Dan ketahuilah, seandainya umat manusia berkumpul untuk memberikan kemanfaatan bagimu dengan sesuatu niscaya mereka tidak dapat memberikan kemanfaatan bagimu kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan untukmu. Dan sebaliknya, jika mereka semua berkumpul untuk memudharatkanmu dengan sesuatu, niscaya mereka tidak dapat menimpakan kemudharatan tersebut kecuali dengan sesuatu yang telah Allah tetapkan atasmu.” (HR. At-Tirmidzi)
Perbuatan menganggap sial waktu-waktu tertentu, atau menganggap datangnya bencana dengan berdasarkan apa yang dia lihat, dia dengar, atau dia rasakan, maka ini dinamakan tathayyur atau thiyarah.
Thiyarah Adat Jahiliyyah
Secara bahasa (etimologi), thiyarah atau tathayyur merupakan bentuk mashdar dari kata / kalimat تَطَيَّرَ (tathayyara). Dan asalnya diambil dari kata اَلطَّيْرُ (ath-thairu) yang berarti burung, karena musyrikin Arab Jahiliyyah dahulu melakukan thiyarah dengan menggunakan burung, yaitu dengan cara melepaskan seekor burung yang kemudian dilihat ke mana arah terbangnya burung tersebut. Kalau terbang ke arah kanan, berarti ini tanda keberuntungan sehingga dia pun berangkat meneruskan pekerjaannya. Dan sebaliknya, kalau ternyata burung tersebut terbang ke arah kiri, maka ini tanda kesialan sehingga dia menghentikan atau membatalkan pekerjaannya tersebut.
Adapun secara istilah (terminologi) syari’at, thiyarah atau tathayyur adalah beranggapan sial atau merasa akan bernasib naas berdasarkan/disebabkan sesuatu yang dia lihat, dia dengar, atau waktu-waktu tertentu. Penggunaan istilah thiyarah atau tathayyur ini lebih meluas daripada sekedar beranggapan sial dengan menggunakan burung. Sehingga setiap orang yang beranggapan atau merasa bernasib sial dengan berdasarkan hal-hal tersebut, maka dia telah terjatuh kepada perbuatan thiyarah walaupun tidak dengan menggunakan burung.
Berikut beberapa contoh perbuatan thiyarah berdasarkan sebabnya:
1. Karena sesuatu yang dilihat
Seperti melihat kucing hitam, melihat burung hantu, melihat kecelakaan, melihat orang gila, dan yang lainnya kemudian dia beranggapan nanti akan mengalami nasib yang naas.
2. Karena sesuatu yang didengar
Seperti mendengar suara burung gagak, lolongan anjing, atau ketika hendak berdagang, dia mendengar orang yang memanggilnya: ‘Wahai Si Rugi’, yang kemudian dengan sebab itu dia mengurungkan niatnya untuk berjualan.
3. Karena waktu-waktu tertentu
Seperti menganggap sial hari-hari tertentu (Jum’at Kliwon, Rabu Pon, dan lainnya), atau bulan-bulan tertentu (Muharram, Shafar, dan lainnya), atau tahun-tahun tertentu.
Dan termasuk thiyarah pula adalah menganggap sial angka-angka tertentu, seperti angka tiga belas. Dan ini seperti anggapan sial orang-orang sesat dari kalangan Syi’ah Rafidhah terhadap angka sepuluh. Mereka tidak suka dengan angka ini karena kebencian dan permusuhan mereka terhadap Al-’Asyrah Al-Mubasysyarina bil Jannah (sepuluh shahabat yang diberi kabar gembira masuk Al-Jannah). Yang demikian itu disebabkan kebodohan dan kedunguan akal mereka.
Demikian pula ahli nujum (ramalan bintang/zodiak atau yang semisalnya), mereka membagi waktu menjadi waktu naas dan sial, serta waktu bahagia dan baik. Tidaklah samar lagi bahwa ramalan bintang seperti ini adalah haram dan termasuk jenis sihir.
Pelaku thiyarah sesungguhnya telah bergantung/bersandar kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya, bahkan hal itu hanya merupakan sebuah dugaan dan khayalannya saja. Antara sesuatu yang dia berthiyarah kepadanya dengan kejadian yang menimpanya tidaklah memiliki hubungan apa-apa. Bagaimana bisa bulan Muharram, bulan Shafar, hari Rabu, Sabtu, mendengar burung hantu atau burung gagak, dan yang lainnya menjadi penentu nasib seseorang? Hal ini jelas dapat merusak aqidah dan tauhid seseorang yang meyakininya, karena dapat memalingkan tawakkal dia kepada selain Allah subhanahu wata’ala.
Seseorang yang membatalkan rencananya untuk mengadakan hajatan, atau mengurungkan niatnya untuk bepergian karena thiyarah yang dia lakukan, berarti ia telah mengetuk pintu kesyirikan bahkan ia telah masuk ke dalamnya. Dia telah menghilangkan tawakkalnya kepada Allah subhanahu wata’ala dan membuka pintu bagi dirinya untuk takut kepada selain Allah subhanahu wata’ala dan bergantung kepada selain Ash-Shamad (Dzat Maha Tempat Bergantung). Sehingga pelaku thiyarah telah menyimpang dari apa yang Allah subhanahu wata’ala firmankan:
وَعَلَى اللَّهِ فَتَوَكَّلُوا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Al-Ma’idah: 23)
Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan dan menegaskan kepada kita bahwa thiyarah termasuk kesyirikan sebagaimana dalam sabdanya:
اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ اَلطِّيَرَةُ شِرْكٌ.
“Thiyarah adalah kesyirikan, thiyarah adalah kesyirikan.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).
Obat dari Penyakit Ini
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّتْهُ الطِّيَرَةُ عَنْ حَاجَتِهِ فَقَدْ أَشْرَكَ، قَالُوْا: فَمَا كَفَّارَةُ ذَلِكَ؟ قَالَ : أَنْ تَقُوْلَ : اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Barangsiapa yang keperluannya tidak dilaksanakan disebabkan berbuat thiyarah, maka sungguh dia telah berbuat kesyirikan. Para shahabat bertanya: Bagaimana cara menghilangkan anggapan (thiyarah) seperti itu? Beliau bersabda: Hendaknya engkau mengucapkan (do’a):
اَللّهُمَّ لاَ خَيْرَ إِلاَّ خَيْرُكَ، وَلاَ طَيْرَ إِلاَّ طَيْرُكَ، وَلاَ إِلهَ غَيْرُكَ.
“Ya Allah, tidak ada kebaikan kecuali itu datang dari Engkau, tidak ada kejelekan kecuali itu adalah ketetapan dari Engkau, dan tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabarani).
Selain itu, thiyarah dapat dihilangkan dengan berusaha untuk tawakkal kepada Allah subhanahu wata’ala saja. Bergantung hanya kepada-Nya dalam rangka meraih apa yang diinginkan dan menghindari dari sesuatu yang tidak diinginkan, serta mengiringi itu semua dengan usaha dan amal yang tidak menyelisihi syari’at.
Apapun yang menimpa kita baik berupa kesenangan, kelapangan, kesedihan, musibah, dan yang lainnya, kita meyakini bahwa itu semua merupakan kehendak Allah subhanahu wata’ala yang penuh dengan keadilan dan hikmah-Nya.
Maroji’
* Kitab At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil Wahhab.
* Al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabi At-Tauhid, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin.
* Al-Khuthab Al-Minbariyyah, Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan.
* Fatwa Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syaikh.
* Fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Buhutsil ‘Ilmiyyah wal Ifta’.
Sumber : http://darussalaf.or.id/stories.php?id=1671
Pengertian Wahhabi
oleh Abu Salman Rizky Al-Maghtaniy (catatan) 21 Januari 2010 jam 6:27
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan dalam kitabnya Manhaj Al-Firqatun Najiyah wa Thaifah Al-Manshurah:
Orang yang biasa menuduh “Wahhabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits yang shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Alloh semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh, penulis (Muhammad bin Jamil Zainu) membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhu yang terdapat dalam kitab Arba’in An-Nawawiyah. Hadist itu berbunyi:
ٳذسأڶت فأسأل الله وإذأاستعنت فاستعن باالله﴿رواه الترمذي وقال حسن صحيح﴾
“Jika engkau memohon, maka mohonlah kepada Alloh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Alloh.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Penulis (Muhammad bin Jamil Zainu) sungguh kagum terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya -menurut tradisi- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari penyakit dan kesehatan maka hal-hal itu (harus) memintanya hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu penulis mengatakan kepada syaikh tersebut, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Alloh.” Lalu ia (syaikh tersebut) menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d[1]!” dan aku bertanya kepadanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Alloh, lalu Alloh menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengerankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir Wahhabi. Engkau berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab Wahhabi.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang Wahhabi, kecuali sekedar yang penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang Wahhabi, “Orang-orang Wahhabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang Wahhabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, maka aku wajib mengenal Wahhabi lebih jauh.
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk menkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, tidak lama kemudian seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak ada seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu Syaikh membuka pelajaran dengan mengucapkan,
ٳن الحمدلله نحمده ونستعنه ونستغڧره
“Sesungguhnya segala puji bagi Alloh. Kepada Alloh kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan …”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawi-nya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi ‘alaihi sholatu wa sallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Alhamdulillah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf (salafy)[2]. Sebagian orang menuduh kita orang-orang Wahhabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad ‘alaihi sholatu wa sallam. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita Wahhabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad (Muhammad ‘alaihi sholatu wa sallam) adalah Wahhabi, maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku adalah Wahhabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah syaikh yang sesungguhnya.”
Pengertian Wahhabi
Musuh-musuh tauhid memberi gelar Wahhabi kepada setiap muwahhid (yang mentauhidkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahulloh. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Meskipun begitu, ternyata Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki nama Wahhabi Sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang paling baik (Asma’ul Husna).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya Wahhabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.
Muhammad bin Abdul Wahhab
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat, dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hijaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam. Al-Qur’an menegaskan,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (QS. Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam berkata kepada anak pamannya, Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhu:
ٳذسأڶت فأسأل الله وإذأاستعنت فاستعن باالله﴿رواه الترمذي وقال حسن صحيح﴾
“Jika engkau memohon, maka mohonlah kepada Alloh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Alloh.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, sebab Dialah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tidak sanggup menolak bahaya dari dirinya dan orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat memohon selain kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Penentangan orang-orang bathil terhadapnya
Para ahlul bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid (yang disampaikan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam). Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5)
Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tidak berkelanjutan. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong (Imam As-Su’ud rahimahulloh), sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hijaz dan di Negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan (bahwa) dia (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang menganut madzhab Hanbali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang Wahhabi tidak mencintai Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka (Wahhabi) anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulloh telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasuul sholallohu ‘alaihi wa sallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau rahimahulloh dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits, dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam kajian-kajiannya dari ajaran Wahhabi. Suatu hari, salah seorang hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebelum diberikan, ia menghilangkan nama pengarangnya terlebih dahulu. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
اللهم باركلناڧي شامناوڧي يمننا,قالواوڧي نجدنا,قال :هنالك الزلازل والڧتن وبهايطلع قرن الشيطان(رواه البخاري ومسلم)
“Ya Alloh, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasululloh bersabda, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahulloh dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Irak. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Husain bin ‘Ali radhiallohu ‘anhuma dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hijaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Irak. Bahkan sebaliknya, yang nampak di Nejed Hijaz adalah tauhid, yang karenanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam, dan karenanya pula Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul ‘alaihimus salam.
Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan, bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah seorang mujaddid (pembaharu) adab ke-12 H. Mereka menulis buku-buku tentang beliau rahimahulloh. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh rahimahulloh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Ahmad ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatakan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya, mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata Wahhabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari ahlul bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata Wahhabi adalah nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk surga.
Footnote:
[1] Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya.
[2] Salafy adalah mereka yang mengikuti jalan para salafush sholeh (Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in)
[3] Sebab yang terkenal dalam dunia fiqih hanya ada empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
[4] Kaum Murtaziqah orang-orang bayaran.
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan dalam kitabnya Manhaj Al-Firqatun Najiyah wa Thaifah Al-Manshurah:
Orang yang biasa menuduh “Wahhabi” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits yang shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdoa (memohon) hanya kepada Alloh semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh, penulis (Muhammad bin Jamil Zainu) membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhu yang terdapat dalam kitab Arba’in An-Nawawiyah. Hadist itu berbunyi:
ٳذسأڶت فأسأل الله وإذأاستعنت فاستعن باالله﴿رواه الترمذي وقال حسن صحيح﴾
“Jika engkau memohon, maka mohonlah kepada Alloh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Alloh.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Penulis (Muhammad bin Jamil Zainu) sungguh kagum terhadap keterangan Imam Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya -menurut tradisi- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari penyakit dan kesehatan maka hal-hal itu (harus) memintanya hanya kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu penulis mengatakan kepada syaikh tersebut, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Alloh.” Lalu ia (syaikh tersebut) menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d[1]!” dan aku bertanya kepadanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdoa (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Alloh, lalu Alloh menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengerankan, engkau justru mengambil aqidah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir Wahhabi. Engkau berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab Wahhabi.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang Wahhabi, kecuali sekedar yang penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang Wahhabi, “Orang-orang Wahhabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang Wahhabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, maka aku wajib mengenal Wahhabi lebih jauh.
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk menkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, tidak lama kemudian seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak ada seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu Syaikh membuka pelajaran dengan mengucapkan,
ٳن الحمدلله نحمده ونستعنه ونستغڧره
“Sesungguhnya segala puji bagi Alloh. Kepada Alloh kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan …”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahih-nya dan para perawi-nya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi ‘alaihi sholatu wa sallam. Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Alhamdulillah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf (salafy)[2]. Sebagian orang menuduh kita orang-orang Wahhabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Alloh Subhanahu wa Ta’ala melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
وَلا تَنَابَزُوا بِالألْقَابِ
“Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelaran yang buruk.” (QS. Al-Hujurat: 11)
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidhah (berarti) mencintai keluarga Muhammad ‘alaihi sholatu wa sallam. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita Wahhabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad (Muhammad ‘alaihi sholatu wa sallam) adalah Wahhabi, maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku adalah Wahhabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah syaikh yang sesungguhnya.”
Pengertian Wahhabi
Musuh-musuh tauhid memberi gelar Wahhabi kepada setiap muwahhid (yang mentauhidkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahulloh. Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Meskipun begitu, ternyata Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghendaki nama Wahhabi Sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang paling baik (Asma’ul Husna).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya Wahhabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.
Muhammad bin Abdul Wahhab
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat, dan bid’ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Nejed dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hijaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam, serta berdoa (memohon) kepada selain Alloh Subhanahu wa Ta’ala, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam. Al-Qur’an menegaskan,
وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ
“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudharat kepadamu selain Alloh, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim”. (QS. Yunus: 106)
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasululloh ‘alaihi sholatu wa sallam berkata kepada anak pamannya, Ibnu Abbas radhiallohu ‘anhu:
ٳذسأڶت فأسأل الله وإذأاستعنت فاستعن باالله﴿رواه الترمذي وقال حسن صحيح﴾
“Jika engkau memohon, maka mohonlah kepada Alloh, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Alloh.” (HR. At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala semata, sebab Dialah Yang Maha Kuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tidak sanggup menolak bahaya dari dirinya dan orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat memohon selain kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala.
Penentangan orang-orang bathil terhadapnya
Para ahlul bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid (yang disampaikan Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam). Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
أَجَعَلَ الآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad: 5)
Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tidak berkelanjutan. Tetapi Alloh Subhanahu wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong (Imam As-Su’ud rahimahulloh), sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hijaz dan di Negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan (bahwa) dia (Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang menganut madzhab Hanbali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang Wahhabi tidak mencintai Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka (Wahhabi) anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahulloh telah menulis kitab Mukhtashar Siiratur Rasuul sholallohu ‘alaihi wa sallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau rahimahulloh dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits, dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam kajian-kajiannya dari ajaran Wahhabi. Suatu hari, salah seorang hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Sebelum diberikan, ia menghilangkan nama pengarangnya terlebih dahulu. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
اللهم باركلناڧي شامناوڧي يمننا,قالواوڧي نجدنا,قال :هنالك الزلازل والڧتن وبهايطلع قرن الشيطان(رواه البخاري ومسلم)
“Ya Alloh, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasululloh bersabda, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahulloh dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Irak. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Husain bin ‘Ali radhiallohu ‘anhuma dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hijaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Irak. Bahkan sebaliknya, yang nampak di Nejed Hijaz adalah tauhid, yang karenanya Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan alam, dan karenanya pula Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengutus para Rasul ‘alaihimus salam.
Sebagian ulama yang adil sesungguhnya menyebutkan, bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab adalah seorang mujaddid (pembaharu) adab ke-12 H. Mereka menulis buku-buku tentang beliau rahimahulloh. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh rahimahulloh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab dan Ahmad ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatakan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya, mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata Wahhabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari ahlul bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata Wahhabi adalah nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk surga.
Footnote:
[1] Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya.
[2] Salafy adalah mereka yang mengikuti jalan para salafush sholeh (Rasululloh sholallohu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan tabi’in)
[3] Sebab yang terkenal dalam dunia fiqih hanya ada empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
[4] Kaum Murtaziqah orang-orang bayaran.
buat yang alergi dengan salafy !!!
oleh Abu Aswad (catatan) 20 Januari 2010 jam 11:58
Dengan mengaharap pertolongan Allah ta’ala saya hadirkan sebuah tulisan yang menjelaskan tentang hakikat dakwah salafiyah, karena telah berkembang opini yang sangat kuat bahwa dakwah salafiyah adalah dakwah pemecah belah umat, keras kaku dan bermacam-macam tuduhan keji lainnya. Dan anehnya tuduhan keji itu berasal juga dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah sunnah, anti bid’ah, kebangkitan ummat dan nisbah-nisbah positif lainnya.
Dan tidak dipungkiri ramainya permusuhan blogger terhadap dakwah salaf ini, berangkat memang benci, tidak tahu, aatau memang benar-benar memusuhi. Tulisan ini hadir untuk menolong bagi siapa saja yang masih mengharap secercah tegaknya kejujuran.
Selamat membaca…!
Hakikat Dakwah Salafiyah
Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).
Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.
Definisi Salaf secara bahasa
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal.21.
Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.
Definisi Salaf secara Istilah
Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.
Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.
Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.
Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beilau. Allah memilih mereka untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.
Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.
Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Berkata Ath-Thohawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.
Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Quro dialah yang berada dilangit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini”.
Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.
Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya”.
Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.
Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.
Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh”.
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.
Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”.
Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5 : “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka”.
Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”. Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.
Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.
Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.
Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.
Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).
Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.
Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.
Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.
Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.
Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka”.
Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf“.
Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :
1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.
2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah”.
Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.
3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.
4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya”. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.
5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.
6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.
7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.
8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal.283.
9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).
10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.
sumber : http://abasalma.wordpress.com/2007/11/06/buat-yang-benci-salafy/
Dengan mengaharap pertolongan Allah ta’ala saya hadirkan sebuah tulisan yang menjelaskan tentang hakikat dakwah salafiyah, karena telah berkembang opini yang sangat kuat bahwa dakwah salafiyah adalah dakwah pemecah belah umat, keras kaku dan bermacam-macam tuduhan keji lainnya. Dan anehnya tuduhan keji itu berasal juga dari orang-orang yang menisbatkan diri kepada dakwah sunnah, anti bid’ah, kebangkitan ummat dan nisbah-nisbah positif lainnya.
Dan tidak dipungkiri ramainya permusuhan blogger terhadap dakwah salaf ini, berangkat memang benci, tidak tahu, aatau memang benar-benar memusuhi. Tulisan ini hadir untuk menolong bagi siapa saja yang masih mengharap secercah tegaknya kejujuran.
Selamat membaca…!
Hakikat Dakwah Salafiyah
Oleh : Ust. Abu Muhammad Dzulqarnain
Salafiyah adalah salah satu penamaan lain dari Ahlussunnah Wal Jama’ah yang menunjukkan ciri dan kriteria mereka.
Salafiyah adalah pensifatan yang diambil dari kata سَلَفٌ (Salaf) yang berarti mengikuti jejak, manhaj dan jalan Salaf. Dikenal juga dengan nama سَلَفِيُّوْنَ (Salafiyyun). Yaitu bentuk jamak dari kata Salafy yang berarti orang yang mengikuti Salaf. Dan juga kadang kita dengar penyebutan para ‘ulama Salaf dengan nama As-Salaf Ash-Sholeh (pendahulu yang sholeh).
Dari keterangan di atas secara global sudah bisa dipahami apa yang dimaksud dengan Salafiyah. Tapi kami akan menjelaskan tentang makna Salaf menurut para ‘ulama dengan harapan bisa mengikis anggapan/penafsiran bahwa dakwah Salafiyah adalah suatu organisasi, kelompok, aliran baru dan sangkaan-sangkaan lain yang salah dan menodai kesucian dakwah yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam ini.
Kata Salaf ini mempunyai dua definisi ; dari sisi bahasa dan dari sisi istilah.
Definisi Salaf secara bahasa
Berkata Ibnu Manzhur dalam Lisanul ‘Arab : “Dan As-Salaf juga adalah orang-orang yang mendahului kamu dari ayah-ayahmu dan kerabatmu yang mereka itu di atas kamu dari sisi umur dan keutamaan karena itulah generasi pertama dikalangan tabi’in mereka dinamakan As-Salaf Ash-Sholeh”.
Berkata Al-Manawi dalam At-Ta’arif jilid 2 hal.412 : “As-Salaf bermakna At-Taqoddum (yang terdahulu). Jamak dari salaf adalah أََسْلاَفٌ (aslaf)”.
Masih banyak rujukan lain tentang makna salaf dari sisi bahasa yang ini dapat dilihat dalam Mauqif Ibnu Taimiyyah minal ‘asya’irah jilid 1 hal.21.
Jadi arti Salaf secara bahasa adalah yang terdahulu, yang awal dan yang pertama. Mereka dinamakan Salaf karena mereka adalah generasi pertama dari ummat Islam.
Definisi Salaf secara Istilah
Istilah Salaf dikalangan para ‘ulama mempunyai dua makna ; secara khusus dan secara umum.
Pertama : Makna Salaf secara khusus adalah generasi permulaan ummat Islam dari kalangan para shahabat, Tabi’in (murid-murid para Shahabat), Tabi’ut Tabi’in (murid-murid para Tabi’in) dalam tiga masa yang mendapatkan kemulian dan keutamaan dalam hadits mutawatir yang diriwayatkan oleh Imam Bukhary, Muslim dan lain-lainnya dimana Rasulullah shollallahu ‘alahi wa alihi wa sallam menyatakan :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian generasi setelahnya kemudian generasi setelahnya”.
Makna khusus inilah yang diinginkan oleh banyak ‘ulama ketika menggunakan kalimat Salaf dan saya akan menyebutkan beberapa contoh dari perkataan para ‘ulama yang mendefinisikan Salaf dengan makna khusus ini atau yang menggunakan istilah Salaf dan mereka inginkan dengannya makna Salaf secara khusus.
Berkata Al-Bajury dalam Syarah Jauharut Tauhid hal.111 : “Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu dari para Nabi dan para shahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka”.
Berkata Al-Qolasyany dalam Tahrirul Maqolah Syarah Ar-Risalah : “As-Salaf Ash-Sholeh yaitu generasi pertama yang mapan di atas ilmu, yang mengikuti petunjuk Nabi shollahu ‘alahi wa alihi wa sallam lagi menjaga sunnah-sunnah beilau. Allah memilih mereka untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan memilih mereka untuk menegakkan agama-Nya dan mereka itulah yang diridhoi oleh para Imam ummat (Islam) dan mereka berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benar jihad dan mereka mencurahkan (seluruh kemampuan mereka) dalam menasehati ummat dan memberi manfaat kepada mereka dan mereka menyerahkan diri-diri mereka dalam menggapai keridhoan Allah”.
Dan berkata Al-Ghazaly memberikan pengertian terhadap kata As-Salaf dalam Iljamul ‘Awwam ‘An ‘ilmil Kalam hal.62 : “Yang saya maksudkan dengan salaf adalah madzhabnya para shahabat dan Tabi’in”.
Lihat Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy hal.31 dan Bashoir Dzawisy Syaraf Bimarwiyati Manhaj As-Salaf hal.18-19.
Berkata Abul Hasan Al-Asy’ary dalam Kitab Al-Ibanah Min Ushul Ahlid Diyanah hal.21 : “Dan (diantara yang) kami yakini sebagai agama adalah mencintai para ‘ulama salaf yang mereka itu telah dipilih oleh Allah ‘Azza Wa Jalla untuk bershahabat dengan Nabi-Nya dan kami memuji mereka sebagaimana Allah memuji mereka dan kami memberikan loyalitas kepada mereka seluruhnya”.
Berkata Ath-Thohawy dalam Al-‘Aqidah Ath-Thohawiyah : “Dan ulama salaf dari generasi yang terdahulu dan generasi yang setelah mereka dari kalangan Tabi’in (mereka adalah) Ahlul Khair (ahli kebaikan) dan Ahli Atsar (hadits) dan ahli fiqh dan telaah (peneliti), tidaklah mereka disebut melainkan dengan kebaikan dan siapa yang menyebut mereka dengan kejelekan maka dia berada di atas selain jalan (yang benar)”.
Dan Al-Lalika`i dalam Syarah Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah Wal Jama’ah jilid 2 hal.334 ketika beliau membantah orang yang mengatakan bahwa Al-Quro dialah yang berada dilangit, beliau berkata : “Maka dia telah menyelisihi Allah dan Rasul-Nya dan menolak mukjizat Nabi-Nya dan menyelisihi para salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan orang-orang setelahnya dari para ‘ulama ummat ini”.
Berkata Al-Baihaqy dalam Syu’abul Iman jilid 2 hal.251 tatkala beliau menyebutkan pembagian ilmu, beliau menyebutkan diantaranya : “Dan mengenal perkataan-perkataan para salaf dari kalangan shahabat, Tabi’in dan orang-orang setelah mereka”.
Dan berkata Asy-Syihristany dalam Al-Milal Wa An-Nihal jilid 1 hal.200 : “Kemudian mengetahui letak-letak ijma’ (kesepakatan) shahabat, Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in dari Salafus Sholeh sehingga ijtihadnya tidak menyelisihi ijma’ (mereka)”.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Bayan Talbis Al-Jahmiyah jilid 1 hal.22 : “Maka tidak ada keraguan bahwasanya kitab-kitab yang terdapat di tangan-tangan manusia menjadi saksi bahwasanya seluruh salaf dari tiga generasi pertama mereka menyelesihinya”.
Dan berkata Al-Mubarakfury dalam Tuhfah Al-Ahwadzy jilid 9 hal.165 : “…Dan ini adalah madzhab Salafus Sholeh dari kalangan shahabat dan Tabi’in dan selain mereka dari para ‘ulama -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka seluruhnya-”.
Dan hal yang sama dinyatakan oleh Al-’Azhim Abady dalam ‘Aunul Ma’bud jilid 13 hal.7.
Kedua : Makna salaf secara umum adalah tiga generasi terbaik dan orang-orang setelah tiga generasi terbaik ini, sehingga mencakup setiap orang yang berjalan di atas jalan dan manhaj generasi terbaik ini.
Dan berkata Al-’Allamah Muhammad As-Safariny Al-Hambaly dalam Lawami’ Al-Anwar Al-Bahiyyah Wa Sawathi’ Al-Asrar Al-Atsariyyah jilid 1 hal.20 : “Yang diinginkan dengan madzhab salaf yaitu apa-apa yang para shahabat yang mulia -mudah-mudahan Allah meridhoi mereka- berada di atasnya dan para Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik dan yang mengikuti mereka dan para Imam agama yang dipersaksikan keimaman mereka dan dikenal perannya yang sangat besar dalam agama dan manusia menerima perkataan-perkataan mereka…”.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi dalam Syarah Al ‘Aqidah Ath-Thohawiyah hal.196 tentang perkataan Ath-Thohawy bahwasanya Al-Qur`an diturunkan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala : “Yakni merupakan perkataan para shahabat dan yang mengikuti mereka dengan baik dan mereka itu adalah Salafus Sholeh”.
Dan berkata Asy-Syaikh Sholeh Al-Fauzan dalam Nazharat Wa Tu’uqqubat ‘Ala Ma Fi Kitab As-Salafiyah hal.21 : “Dan kata Salafiyah digunakan terhadap jama’ah kaum mukminin yang mereka hidup di generasi pertama dari generasi-generasi Islam yang mereka itu komitmen di atas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam dari kalangan shahabat Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam mensifati mereka dengan sabdanya : “Sebaik-baik manusia adalah zamanku kemudian zaman setelahnya kemudian zaman setelahnya….”.
Dan beliau juga berkata dalam Al-Ajwibah Al-Mufidah ‘An As`ilah Al-Manahij Al-Jadidah hal.103-104 : “As-Salafiyah adalah orang-orang yang berjalan di atas Manhaj Salaf dari kalangan Shahabat dan tabi’in dan generasi terbaik, yang mereka mengikutinya dalam hal aqidah, manhaj, dan metode dakwah”.
Dan berkata Syaikh Nashir bin ‘Abdil Karim Al-‘Aql dalam Mujmal Ushul I’tiqod Ahlus Sunnah Wal Jama’ah hal.5 : “As-Salaf, mereka adalah generasi pertama ummat ini dari para shahabat, tabi’in dan imam-imam yang berada di atas petunjuk dalam tiga generasi terbaik pertama. Dan kalimat As-Salaf juga digunakan kepada setiap orang yang berada pada setelah tiga generasi pertama ini yang meniti dan berjalan di atas manhaj mereka”.
Asal Penamaan Salaf Dan Penisbahan Diri Kepada Manhaj Salaf
Asal penamaan Salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam kepada putrinya Fathimah radihyallahu ‘anha :
فَإِنَّهُ نِعْمَ السَّلَفُ أَنَا لَكِ
“Karena sesungguhnya sebaik-baik salaf bagi kamu adalah saya”. Dikeluarkan oleh Bukhary no.5928 dan Muslim no.2450.
Maka jelaslah bahwa penamaaan salaf dan penisbahan diri kepada manhaj Salaf adalah perkara yang mempunyai landasan (pondasi) yang sangat kuat dan sesuatu yang telah lama dikenal tapi karena kebodohan dan jauhnya kita dari tuntunan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, maka muncullah anggapan bahwa manhaj salaf itu adalah suatu aliran, ajaran, atau pemahaman baru, dan anggapan-anggapan lainnya yang salah.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa jilid 4 hal 149 : “Tidak ada celaan bagi orang yang menampakkan madzhab salaf dan menisbahkan diri kepadanya dan merujuk kepadanya, bahkan wajib menerima hal tersebut menurut kesepakatan (para ulama). Karena sesungguhnya madzhab salaf itu adalah tak lain kecuali kebenaran”.
Berikut ini saya akan memberikan beberapa contoh untuk menunjukkan bahwa penggunaan nama salaf sudah lama dikenal.
Berkata Imam Az-Zuhry (wafat 125 H) tentang tulang belulang bangkai seperti bangkai gajah dan lainnya : “Saya telah mendapati sekelompok dari para ulama salaf mereka bersisir dengannya dan mengambil minyak darinya, mereka menganggap (hal tersebut) tidak apa-apa”. Lihat : Shohih Bukhary bersama Fathul Bary jilid 1 hal.342.
Tentunya yang diinginkan dengan ‘ulama salaf oleh Az-Zuhry adalah para shahabat karena Az-Zuhry adalah seorang Tabi’i (generasi setelah shahabat).
Dan Sa’ad bin Rasyid (wafat 213 H) berkata : “Adalah para salaf, lebih menyenangi tunggangan jantan karena lebih cepat larinya dan lebih berani”. Lihat : Shohih Bukhary dengan Fathul Bary jilid 6 hal.66 dan Al-Hafizh menafsirkan kata salaf : “Yaitu dari shahabat dan setelahnya”.
Berkata Imam Bukhary (wafat 256 H) dalam Shohihnya dengan Fathul Bary jilid 9 hal.552 : “Bab bagaimana para ‘ulama salaf berhemat di rumah-rumah mereka dan di dalam perjalanan mereka dalam makanan, daging dan lainnya”.
Imam Ibnul Mubarak (wafat 181 H) berkata : “Tinggalkanlah hadits ‘Amr bin Tsabit karena ia mencerca para ‘ulama salaf”. Baca : Muqoddimah Shohih Muslim jilid 1 hal.16.
Tentunya yang diinginkan dengan kata salaf oleh Imam Bukhary dan Ibnul Mubarak tiada lain kecuali para shahabat dan tabi’in.
Dan juga kalau kita membaca buku-buku yang berkaitan dengan pembahasan nasab, akan didapatkan para ’ulama yang menyebutkan tentang nisbah Salafy (penisbahan diri kepada jalan para ‘ulama salaf), dan ini lebih memperjelas bahwa nisbah kepada manhaj salaf juga adalah sesuatu yang sudah lama dikenal dikalangan para ‘ulama.
Berkata As-Sam’any dalam Al-Ansab jilid 3 hal.273 : “Salafy dengan difathah (huruf sin-nya) adalah nisbah kepada As-Salaf dan mengikuti madzhab mereka”.
Dan berkata As-Suyuthy dalam Lubbul Lubab jilid 2 hal.22 : “Salafy dengan difathah (huruf sin dan lam-nya) adalah penyandaran diri kepada madzhab As-Salaf“.
Dan saya akan menyebutkan beberapa contoh para ‘ulama yang dinisbahkan kepada manhaj (jalan) para ‘ulama salaf untuk menunjukkan bahwa mereka berada di atas jalan yang lurus yang bersih dari noda penyimpangan :
1. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.183 setelah menyebutkan hikayat bahwa Ya’qub bin Sufyan Al-Fasawy rahimahullah menghina ‘Utsman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu : “Kisah ini terputus, Wallahu A’lam. Dan saya tidak mengetahui Ya’qub Al-Fasawy kecuali beliau itu adalah seorang Salafy, dan beliau telah mengarang sebuah kitab kecil tentang As-Sunnah”.
2. Dan dalam biografi ‘Utsman bin Jarzad beliau berkata : “Untuk menjadi seorang Muhaddits (ahli hadits) diperlukan lima perkara, kalau satu perkara tidak terpenuhi maka itu adalah suatu kekurangan. Dia memerlukan : Aqal yang baik, agama yang baik, dhobth (hafalan yang kuat), kecerdikan dalam bidang hadits serta dikenal darinya sifat amanah”.
Kemudian Adz-Dzahaby mengomentari perkataan tersebut, beliau berkata : “Amanah merupakan bagian dari agama dan hafalan bisa masuk kepada kecerdikan. Adapun yang dibutuhkan oleh seorang hafizh (penghafal hadits) adalah : Dia harus seorang yang bertaqwa, pintar, ahli nahwu dan bahasa, bersih hatinya, senantiasa bersemangat, seorang salafy, cukup bagi dia menulis dengan tangannya sendiri 200 jilid buku hadits dan memiliki 500 jilid buku yang dijadikan pegangan dan tidak putus semangat dalam menuntut ilmu sampai dia meninggal dengan niat yang ikhlas dan dengan sikap rendah diri. Kalau tidak memenuhi syarat-syarat ini maka janganlah kamu berharap”. Lihat dalam Siyar A’lam An-Nubala` jilid 13 hal.280.
3. Dan Adz-Dzahaby berkata tentang Imam Ad-Daraquthny : “Beliau adalah orang yang tidak akan pernah ikut serta mempelajari ilmu kalam (ilmu mantik) dan tidak pula ilmu jidal (ilmu debat) dan beliau tidak pernah mendalami ilmu tersebut, bahkan beliau adalah seorang salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 16 hal.457.
4. Dan dalam Tadzkirah Al-Huffazh jilid 4 hal.1431 dalam biografi Ibnu Ash-Sholah, berkata Imam Adz-Dzahaby : “Dan beliau adalah seorang Salafy yang baik aqidahnya”. Dan lihat : Thobaqot Al-Huffazh jilid 2 hal.503 dan Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.142.
5. Dalam biografi Imam Abul ‘Abbas Ahmad bin ‘Isa bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah Al-Maqdasy, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Beliau adalah seorang yang terpercaya, tsabt (kuat hafalannya), pandai, seorang Salafy…”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 23 hal.18.
6. Dan dalam Biografi Abul Muzhoffar Ibnu Hubairah, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dia adalah seorang yang mengetahui madzhab dan bahasa arab dan ilmu ‘arudh, seorang salafy, atsary”. Baca Siyar A’lam An-Nubala` jilid 20 hal.426.
7. Berkata Imam Adz-Dzahaby dalam biografi Imam Az-Zabidy : “Dia adalah seorang Hanafy, Salafy“. Baca Siyar A’lam An-Nubala`jilid 20 hal.316.
8. Dan dalam Biografi Musa bin Ibrahim Al-Ba’labakky, Imam Adz-Dzahaby berkata : “Dan demikian pula beliau seorang perendah hati, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jamul Muhadditsin hal.283.
9. Dan dalam biografi Muhammad bin Muhammad Al-Bahrony, Imam Adz-Dzahaby Berkata : “Dia seorang yang beragama, orang yang sangat baik, seorang Salafy”. Lihat : Mu’jam Asy-Syuyukh jilid 2 hal.280 (dinukil dari Al-Ajwibah Al-Mufidah hal.18).
10. Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolany dalam Lisanul Mizan Jilid 5 hal.348 dalam biografi Muhammad bin Qasim bin Sufyan Abu Ishaq : “Dan Ia adalah Seorang yang bermadzhab Salafy”.
sumber : http://abasalma.wordpress.com/2007/11/06/buat-yang-benci-salafy/
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam Menurut Syari'at Islam
oleh Ryandi Ibn Zulfajli (catatan) 21 Januari 2010 jam 4:17
PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI'AT ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.
Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.
Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah k dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka
Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.
Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.
A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]
B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Juga berfirman yang maknanya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak".
Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".
Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
...فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]
Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr t berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]
Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Keempat.: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [al-An’âm/6:115]
Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.
Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).
Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]
Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ
"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]
Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]
Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]
Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]
Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”
Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]
Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
" … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian" [an-Nisâ'/ 4:59]
Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna: Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]
Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]
Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu 'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
"Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
"Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at"[23]
Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1). Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]
4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]
D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]
“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya...”
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]
7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…
Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs z .
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.
http://www.almanhaj.or.id/content/2586/slash/0
PERINGATAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM MENURUT SYARI'AT ISLAM
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, dan para Shahabatnya.
Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama Islam bagi umatnya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak mewafatkan Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam kecuali setelah beliau selesai menyampaikan segala sesuatu yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dengan jelas, baik berupa perkataan maupun perbuatan; juga setelah beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa setiap hal baru yang diada-adakan oleh manusia dan disandarkan kepada agama Islam, baik berupa i’tiqâd (keyakinan), perkataan maupun perbuatan semua itu adalah bid’ah dan tertolak, walaupun maksudnya baik. Semua ini karena bid’ah merupakan penambahan terhadap ajaran agama dan mensyari’atkan sesuatu yang tidak diizinkan Allah Subhanahu wa Ta'ala serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah Azza wa Jalla dari golongan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan bid’ah berarti pelecehan terhadap agama Islam dan menganggapnya tidak sempurna. Keyakinan ini mengandung kerusakan yang besar dan bertentangan dengan firman Allah Azza wa jalla dan sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang memperingatkan terhadap bid’ah.
Mengada-ada hal baru dalam agama, seperti peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, anggapan seperti ini mengandung bahaya besar lantaran menentang Allah k dan Rasul-Nya. Karena Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu benar-benar termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, niscaya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menerangkannya kepada umatnya; Atau paling tidak, pasti telah dikerjakan oleh para Shahabatnya. Tetapi, semua itu tidak terjadi. Dengan demikian, jelaslah hal itu bukan bagian dari ajaran Islam dan termasuk perkara yang diada-adakan (bid’ah) dan termasuk tasyabbuh (menyerupai) Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) dalam hari-hari besar mereka
Diantara hal aneh dan mengherankan ialah banyak orang yang giat dan bersemangat menghadiri acara-acara yang bid’ah, bahkan membelanya, sementara mereka meninggalkan kewajiban-kewajiban yang Allah Azza wa Jalla syari’atkan seperti shalat wajib, shalat Jum’at, dan shalat berjama’ah bahkan sebagian mereka terbiasa dengan perbuatan maksiat dan dosa-dosa besar. Mereka sadar bahwa mereka telah melakukan kemungkaran yang besar. Ini semua dikarenakan oleh lemahnya iman, dangkalnya pemikiran, serta banyaknya noda yang mengotori hati.
Lebih aneh lagi, sebagian pendukung maulid mengklaim bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam datang menghadiri acara tersebut. Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini merupakan kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang amat buruk. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusia pun, dan tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah dengan menyelenggarakan acara-acara perayaan maulid semacam itu, akan tetapi dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang dikabarkannya, menjauhi segala yang dilarang dan diperingatkannya, dan tidak beribadah kepada Allah Azza wa Jalla kecuali dengan yang beliau syari’atkan.
A. ORANG YANG PERTAMA KALI MENGADAKAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke- 4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan. Nenek moyang mereka adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak.[1]
Para ulama ummat, para pemimpin, dan para pembesarnya bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan Islam dan menyembunyikan kekafiran. Bila ada orang yang bersaksi bahwa mereka orang-orang beriman, berarti dia bersaksi atas sesuatu yang tidak diketahuinya, karena tidak ada sesuatu pun yang menunjukkan keimanan mereka, sebaliknya banyak hal yang menunjukkan atas kemunafikan dan kezindikan mereka.[2]
B. BEBERAPA ALASAN DILARANGNYA MEMPERINGATI MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Para ulama dahulu dan sekarang telah menjelaskan kebathilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan membantah para pendukungnya. Memperingati Maulid (kelahiran) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu adalah bid’ah dan haram berdasarkan alasan-alasan berikut:
Pertama: Peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menurunkan keterangan sedikit pun dan ilmu tentang itu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mensyariatkannya baik melalui lisan, perbuatan maupun ketetapan beliau. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Juga berfirman yang maknanya : “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah k dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak mengingat Allah Azza wa Jalla.” [al-Ahzâb/33: 21]
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِـيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang mengadakan suatu yang baru yang tidak ada dalam urusan agama kami, maka amalan itu tertolak".
Dalam riwayat Imam Muslim, “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak".
Kedua: Khulafa-ur Rasyidîn dan para Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya tidak pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Padahal mereka adalah sebaik-baik umat ini setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
...فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْـخُلَـفَاءِ الْـمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ ، تَـمَسَّكُوْا بِـهَـا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ ، وَإِيَّاكُمْ وَمُـحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ ؛ فَإِنَّ كُلَّ مُـحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ.
”…Maka wajib atas kalian berpegang teguh kepada Sunnahku dan Sunnah Khulafâ-ur Râsyidîn yang mendapat petunjuk. Peganglah erat-erat dan gigitlah dia dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah kesesatan.” [3]
Peringatan maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik niscaya mereka telah lebih dahulu melakukannya. al-Hâfizh Ibnu Katsîr t berkata, “Ahlus Sunnah wal Jama’ah berpendapat bahwa setiap perkataan dan perbuatan yang tidak ada dasarnya dari Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Karena bila hal itu baik, niscaya mereka akan lebih dahulu melakukannya daripada kita. Sebab mereka tidak pernah mengabaikan satu kebaikan pun kecuali mereka telah lebih dahulu melaksanakannya.”[4]
Ketiga: Peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan tersebut adalah para penguasa generasi Fathimiyah Ubaidiyah, sebagaimana keterangan diatas. Mereka sebenarnya berasal dari kalangan Yahudi, bahkan ada pendapat mereka berasal dari kalangan Majusi. Bisa jadi, mereka adalah orang-orang Atheis.[5]
Orang yang pertama menciptakannya adalah al-Mu’iz Lidînillah al-‘Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan tahun 362 H.[6]
Apakah layak bagi orang Muslim berakal untuk mengikuti Rafidhah dan mengikuti kebiasaan mereka serta menyelisihi petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ?
Keempat.: Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agamamu…” [al-Mâ-idah/5:3]
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat AllahSubhanahu wa Ta'alal terbesar yang diberikan kepada umat ini, tatkala Allah Azza wa Jalla menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia dan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla : وَتَـمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَّعَدْلاًً “Dan telah sempurna kalimat Rabb-mu (Al-Qur-an), (sebagai kalimat) yang benar dan adil ...” [al-An’âm/6:115]
Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnalah nikmat yang diberikan kepada mereka.
Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala. Karenanya Allah Azza wa Jalla mengutus Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (Al-Qur`an).
Mengenai firman Allah Subhanahu wa Ta'ala (al-Mâ-idah/5:3), ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu 'anhuma, “Maksudnya adalah Islam. Allah Azza wa Jalla telah mengabarkan kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk mereka, sehingga mereka tidak membutuhkan penambahan sama sekali. Dan Allah Azza wa Jalla telah menyempurnakan Islam sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah Azza wa Jalla tidak akan memurkainya selamanya.”[7]
Orang yang melaksanakan Sunnah-Sunnah dan meninggalkan bid’ah-bid’ah -termasuk bid’ah Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam- maka mereka menjadi asing di masyarakat, pendukung perayaan ini. Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah Azza wa Jalla, tentu beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَا بَعَثَ اللهُ مِنْ نَبِيٍّ إِلَّا كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ وَيُنْذِرَهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَـهُمْ
"Tidaklah Allah Azza wa Jalla mengutus seorang Nabi, kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka." [8]
Kelima: Dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacam itu, timbul kesan bahwa Allah Azza wa Jalla belum menyempurnakan agama ini, sehingga perlu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Keenam: Dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
"Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka" [9]
Imam asy-Syâfi’i rahimahullah berkata.
مَنِ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَعَ
"Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at" [10]
Diantara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at.”[11]
Syaikh Hâfizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimahullah (wafat th. 1377 H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; Semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun di dalamnya; Semuanya adalah dosa tidak berpahala; Semuanya batil tidak ada kebenaran di dalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah Azza wa Jalla dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para Shahabatnya.”[12]
Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
Ketujuh: Memperingati kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasululah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena kecintaan itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mengamalkan Sunnah beliau, dan mentaati beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
Allah Azza wa Jalla berfirman:
“Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku, niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” [Ali Imrân:31]
al-Hâfizh Ibnu Katsîr rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah Subhanahu wa Ta'ala tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah Azza wa Jalla sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam setiap perkataan, perbuatan, dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahîh, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak atas dasar urusan kami, amalan tersebut tertolak.”[13]
Oleh karena itu, maksud firman Allah Azza wa Jalla yang maknya : “Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah Azza wa Jalla, maka ikutilah aku. Niscaya Allah Azza wa Jalla mengasihimu” adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan ulama ahli hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai.” al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah Azza wa Jalla, lalu Allah Azza wa Jalla menguji mereka melalui ayat ini ...”
Kemudian firman Allah Azza wa Jalla yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu.’ Dan Allah Azza wa Jalla Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kalian akan memperoleh pengampunan, berkat keberkahan utusan-Nya.”
Kedelapan: Memperingati Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nashrani dalam hari raya mereka, padahal kita telah dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. [15]
Kesembilan: Orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena tolok ukur kebenaran itu bukan jumlah orang yang mengamalkannya, namun berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shâlih.
Kesepuluh: Berdasarkan kaidah syariat yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
" … Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur-an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah k dan hari Kemudian" [an-Nisâ'/ 4:59]
Demikian juga dengan firman-Nya yang bermakna: Tentang sesuatu apa pun yang kamu berselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah Azza wa Jalla.” [asy-Syûra/42: 10]
Orang yang mengembalikan persoalan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya, dia akan mendapati bahwa Allah Azza wa Jalla memerintahkan manusia agar mengikuti Nabi-Nya. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan ataupun memperingati kelahiran beliau dan beliau sendiri, juga para sahabat beliau. Dengan demikian dapat diketahui bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bukanlah berasal dari Islam, tetapi merupakan perbuatan bid’ah.
Kesebelas: Yang disyariatkan bagi seorang Muslim pada hari Senin adalah berpuasa, bila ia mau. Karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanya tentang puasa pada hari Senin, beliau bersabda, “Itu adalah hari kelahirkanku, hari aku diutus sebagai nabi, serta hari aku diberikan wahyu.” [16]
Yang disyariatkan adalah meneladani beliau, yaitu berpuasa pada hari Senin, bukan merayakan hari kelahiran beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Kedua belas: Perayaan hari kelahiran Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, padahal Allah Ta’ala dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِي الدِّيْنِ، فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ اَلْغُلُوُّ فِي الدِّيْنِ.
"Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian.” [17]
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak suka disanjung melebihi dari ssanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
‘Abdullah bin asy-Syikhkhir Radhiyallahu 'anhu berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab:
اَلسَّيِّدُ اللهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’aala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :
قُوْلُوْا بِقَوْلِكُمْ أَو بَعْضِ قَوْلِكُمْ وَلاَ يَسْتَجْرِيَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ.
"Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan" [18]
.
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
لَا تُطْرُوْنِـيْ كَمَـا أَطْرَتِ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ ، فَإِنَّمَـا أَنَا عَبْدُهُ ، فَقُوْلُوْا : عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلُهُ.
"Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nashrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah, ‘Hamba Allah dan Rasul-Nya" [19]
.
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa Alaihissalam. Sehingga mereka menganggapnya memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagaimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya.”[20]
Ketiga belas: Berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Dalam perayaan maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, bercampur baurnya kaum laki-laki dan wanita, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istigâtsah kepada Rasulullah n atau para wali, penghinaan terhadap Kitabullah, di antaranya dengan merokok pada saat majelis Al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran.[21]
Keempat belas: Dalam peringatan maulid terdapat keyakinan batil bahwa ruh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menghadiri acara-cara maulid yang mereka adakan.
Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari Kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Dârul Karâmah.[22]
Allah Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, “Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula).” (Qs az-Zumar/39:30). Dan dalam ayat yang lain, Allah k berfirman yang maknanya, “Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” [al-Mukminûn/23: 15-16].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ الْقَبْرُ وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ
"Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at"[23]
Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. al-Allâmah Abdul Aziz bin Abdullâh bin Bâz rahimahullah menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka.” [24]
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau n dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
C. HAKIKAT MENCINTAI RASULULLAH SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1). Mengikuti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, mentauhidkan Allah Azza wa Jalla, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beradab dengan adabnya.
2). Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3). Banyak bershalawat untuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sesuai dengan Sunnahnya. Allah Azza wa Jalla berfirman,
"Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla dan para malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Wahai orang-orang yang beriman! Bershalawatlah kamu untuk Nabi k dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya" [al-Ahzâb/33:56]
4). Mencintai orang yang dicintai Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik keluarga maupun Shahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan membenci orang yang membencinya.
5). Mencintai al-Qur’ân yang diturunkan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya.[25]
D. FATWA PARA ULAMA TENTANG BID’AHNYA PERAYAAN MAULID NABI SHALLALLAHU 'ALAIHI WA SALLAM
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah dhalâlah.
1. al-‘Allâmah asy-Syaikh Tâjuddin al-Fakihani rahimahullah (wafat th. 734 H) berkata :
“Saya tidak mengetahui dasar dari peringatan Maulid ini, baik dari al-Qur-an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengamalan salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu...”[26]
2. Syaikhul Islâm Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyari’atkan, seperti sebagian malam di bulan Rabi’ul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzul Hijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawwal yang dinamakan ‘îdul abrâr oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallâhu a’lam.”[27]
3. al-‘Allâmah Ibnul Hajj rahimahullah (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
“...Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka.”[28]
4. Syaikh ‘Abdullâh bin ‘Abdul ‘Azîz bin Bâz rahimahullâh berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulâfâ-ur Râsyidîn, dan tidak pula para Shahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik pada generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka...”[29]
5. Syaikh Hamûd bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri rahimahullah berkata:
“...Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah Azza wa Jalla sebutkan dalam firman-Nya,[30]
“...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul-Nya takut akan mendapat cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” [an-Nûr/24:63]
Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para Shahabat telah bergegas melakukannya...”
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata:
“Pertama: bahwa malam kelahiran Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, menjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memiliki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah Subhanahu wa Ta'ala pasti Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya.” [al-Hijr/15:9]
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah ? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian darinya. Juga hal ini mengandung pendustaan terhadap firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang artinya : “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu…” [al-Mâidah/5: 3]” [31]
7. Syaikh Shâlih bin Fauzân bin ‘Abdullâh al-Fauzan hafizhahullâh berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak dari para Khulafâ-ur Râsyidîn, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang maknanya : “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...” [al-Hasyr/59:7]
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah…
Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil baik dari Kitabullâh maupun dari Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam…”[32]
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad n, juga kepada keluarganya, para Shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
Marâji’ :
1. Tafsîr Ibni Katsîr, cet. Dâr Thayyibah.
2. Majmû Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
3. Iqtidhâ ash-Shirâtil Mustaqîm.
4. al-Madkhal, Imam Ibnul Hajj.
5. Siyar A’lâmin Nubalâ.
6. al-Bâ’its ‘ala Inkâril Bida’ wal Hawâdits.
7. Ma’ârijul Qabûl, Syaikh Hafizh al-Hakami.
8. al-Bida’ fii Madhâril ‘Ibtida’, Syaikh ‘Ali Mahfuzh.
9. Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bil Maulidin Nabawi.
10. Nûrus Sunnah wa Zhulumaatul Bid’ah, Syaikh Sa’id al-Qahthani.
11. Tanbîhu Ulil Abshâr, Syaikh Shâlih as-Suhaimi.
12. ‘Ilmu Ushûl Bida’, Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi.
13. al-Bida’ al-Hauliyyah.
14. Majmû Fatâwâ Syaikh ‘Utsaimin.
15. al-Muntaqa min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân.
16. Fatâwa al-Lajnah ad-Dâ-imah.
Dan kitab-kitab lainnya.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_________
Footnotes
[1]. Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 137).
[2]. Fadhâ-ih al-Bâthiniyyah (hlm. 37) karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj . Lihat al-Bida’ al-Hauliyah (hlm. 143).
[3]. Shahîh: HR. Ahmad (IV/126-127), Abû Dâwud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Dârimi (I/44), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah (I/205), al-Hâkim (I/95), dishahîhkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat Irwâ-ul Ghalîl (no. 2455) dari Shahabat al-‘Irbâdh bin Sariyah z .
[4]. Tafsîr Ibni Katsîr (VII/278-279) cet. Dâr Thayyibah
[5]. Lihat Siyar A’lâmin Nubalâ (XV/213)
[6]. Lihat al-Bidâyah wan Nihâyah oleh Ibnu Katsîr (XI/272-273, 345, XII/267-268, VI/232, XII/ 63, XI/161, XII/13, XII/266). Lihat juga Siyar A’lâmin Nubalâ oleh adz-Dzahabi (XV/159-215). Dikisahkan bahwa Raja al-Ubaidiyah yang terakhir adalah al-Adidh Lidînillah. Ia dibunuh oleh Shalâhuddin al-Ayyûbi th. 564 H. adz-Dzahabi menyatakan : “Kekuasaan al-Adidh mulai luntur bersamaan dengan masuknya Shalâhuddin al-Ayyûbi sampai akhirnya beliau melepas kekuasaan itu dari al-Adidh. Beliau t bekerja sama dengan Bani Abbâs, menghancurkan Bani Ubaid dan melenyapkan keyakinan Syî’ah Râfidhah. Jumlah mereka adalah empat belas raja yang mengaku sebagai khalîfah, padahal bukan khalifah. al-Adidh secara bahasa artinya adalah sang pemotong. Karena dia yang memotong kekuasaan keluarganya.” (XV/212).
[7]. Tafsîr Ibni Katsîr (III/26-27) dengan diringkas.
[8]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1844).
[9]. Shahîh: HR. an-Nasâ-i (III/189).
[10]. al-Bâ’its ‘alâ Inkâril Bida’ wal Hawâdits (hlm. 50).
[11]. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’ (hal. 119-120).
[12]. Ma’ârijul Qabûl (II/519-520).
[13]. Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 2697) dan Muslim (no. 1718)
[14]. Tafsîr Ibni Katsîr (II/32).
[15]. Lihat Iqtidhâush Shirâtil-Mustaqîm Mukhâlafatu Ash-hâbil Jahîm oleh Ibnu Taimiyyah (II/614-615), juga dalam Zâdul Ma’âd oleh Ibnul Qayyim (I/59).
[16]. Shahîh: HR. Muslim (no. 1162).
[17]. Shahîh: HR. Ahmad (I/215, 347), an-Nasâ-i (V/268), Ibnu Mâjah (no. 3029), Ibnu Khuzaimah (no. 2867) dan lainnya, dari Ibnu ‘Abbâs z .
[18]. Shahîh: HR. Abû Dâwud (4806), Ahmad (IV/24, 25), al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (211/ Shahîhul Adâbil Mufrad no 155), an-Nasâ-i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah (247, 249).
[19]. Shahîh: HR. Al-Bukhâri (3445).
[20]. Aqîdatut Tauhîd (hal 151).
[21]. Lihat al-Ibdâ’ fîi Madhâril Ibtidâ’ oleh Syaikh Ali Mahfûzh (251-252).
[22]. Lihat at-Tahdzîr minal Bida’ oleh al-Allâmah Imam Abdul Aziz bin Bâz (13).
[23]. Shahîh: HR. Muslim (2278).
[24]. At-Tahdzîr minal Bida’ (hal. 14)
[25]. Dinukil dari al-Bida’ al-Hauliyah (hal. 192-193) dengan diringkas.
[26]. Al-Maurid fii ‘Amalil Maulid. Dinukil dari Rasâ-il fî Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/7-14) dengan ringkas.
[27]. Majmû’ Fatâwâ, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXV/298).
[28]. Al-Madkhal (II/234-235).
[29]. Hukmul Ihtifâl bil Maulid an-Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/57) dengan ringkas.
[30]. Ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifâ’i wal Majhûl wa Ibni ‘Alawi wa Bayân Ahkhtâ-ihim fil Maulidin Nabawi. Dinukil dari Rasâ-il fii Hukmil Ihtifâl bi Maulidin Nabiy (I/70) dengan ringkas.
[31]. Majmû’ Fatâwâ wa Rasâ-il Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (II/298) dengan diringkas.
[32]. Al-Muntaqâ min Fatâwâ Syaikh Shâlih Fauzân (II/185-186) dengan diringkas.
http://www.almanhaj.or.id/content/2586/slash/0
Langganan:
Komentar (Atom)
